Fireworks, Farewell, and Love
Title: Fireworks, Farewell, and Love
Author: Striratna Nityahayu (@antarirts)
Genre: Romance
Rate: T
Length: Oneshot!
Cast: Hazuki Kei (Tokimeki Memorial Girl’s Side), Ishida Hanabi (Original Character)
Disclaimer: Hazuki Kei adalah kepemilikan Konami. Plot sepenuhnya dimiliki penulis, hal yang sama berlaku untuk Ishida Hanabi. Fiksi ini dibuat berdasarkan otome game Tokimeki Memorial Girl’s Side, dan semata untuk hiburan, penulis tidak menerima keuntungan apapun dari pembuatannya.
***
Fireworks, Farewell, and Love
Ever wonder why Kei always looks a bit sad when he sees fireworks?
Ishida Hanabi sebenarnya nervous setengah mati malam ini.
Walaupun sudah pernah menghadiri hanabi matsuri atau festival dirinya sendiri---bercanda, bersama Kei pada tahun pertama, pada waktu itu ia tidak memakai yukata karena uangnya tidak cukup untuk membeli barang satu.
Maka, di tahun ia berniat untuk menebus kebodohannya dengan tampil sebaik mungkin untuk Kei. Dari jauh-jauh hari ia telah mempersiapkan segalanya untuk malam indah di musim panas ini--- musim yang tadinya tak pernah ia sukai sebelum bertemu Kei.
Astaga, ia bahkan tak tahu ia bermimpi atau tidak. Rasanya ia masih tidak mengerti mengapa seorang Hazuki Kei memilih gadis yang sangat biasa seperti dirinya, di saat gadis-gadis cantik dengan rambut yang panjang dan lembut, yang tak perlu repot memusingkan sanggulan untuk festival semacam ini, bertebaran di mana-mana.
Sungguh, Hanabi tak habis pikir. Jika saja ia tidak terlanjur mencintai Kei sebegitu hebat, pasti ia sudah meragukan motif Kei sedari dulu. Untuk apa lelaki sekaliber Kei menyukainya?
Namun, yah, kau tahu teman, cinta terkadang memang buta. Dan agak bodoh. Dan naif. Oh tidak... cinta kedengaran mirip sekali dengan karakternya.
Hanabi harus siap. Hanabi harus percaya diri. Hanabi pantas kok, bersanding dengan Kei.
Maka, dengan diiringi bunyi geta yang nyaring saat beradu dengan permukaan bumi, Hanabi membuka pintu rumahnya, untuk menemui seorang malaikat dengan surai keemasan dan mata hijau yang senada dengan aksen yukata berwarna broken white-nya.
Tidak melebih-lebihkan, Kei betul-betul terlihat seperti malaikat. Atau pangeran Jepang tampan dari masa silam. Entahlah, pilih saja yang manapun, yang jelas darahnya nyaris tersirap melihat Kei dengan senyum sumringah yang terlukis di wajah rupawannya itu.
***
Hazuki Kei berdiri di depan gerbang rumah seorang gadis dengan perasaan tak keruan.
Padahal, siapa pun yang melihatnya akan mengira Tuhan sedang berada dalam mood yang bagus sehingga Dia menurunkan malaikat dalam balutan yukata putih beraksen hijau. Hazuki Kei, model berdarah Jepang-Jerman laksana patung es yang dipahat Michaelangelo, ternyata bisa jatuh cinta juga pada seorang gadis. Dan ternyata gerbang rumah itu adalah gerbang rumah si gadis yang berhasil meluluhkan hati esnya.
Ya, Kei sendiri tidak menyangka ia akan mengalami hal yang disebut head over heels terhadap siapapun. Tapi ketika ia bertemu dengan Ishida Hanabi... dunianya memang dijungkir balik. Ada begitu banyak alasan mengapa ia begitu mencintai gadis clumsy itu. Oh, Kami-sama, bahkan Kei ingin memeluk Hanabi erat-erat setiap kali ia melakukan hal-hal yang kikuk. Di mata Kei, kekikukan Hanabi hanyalah sesuatu yang membuatnya makin sempurna.
Dan dalam malam yang spesial ini, ia harus menyiapkan hatinya yang terlanjur terperosok begitu dalam—untuk perpisahan.
Pintu rumah yang sangat dikenalnya karena setiap kali ia mengantar Hanabi sampai ke depannya itu, terbuka. Memunculkan keindahan berwujud seorang putri dalam sanggulan yang sedikit berantakan, danyukata hitam-ungu bercorak kupu-kupu itu menambah sensasi magisnya.
Berani taruhan, Hanabi pasti pusing saat menggelung rambut pendeknya itu. Dan juga, ia pasti menabung untuk dapat membeli yukata yang sangat sesuai dengan selera Kei. Ya, Kei tahu tujuan hidup Hanabi adalah untuk menyenangkan orang yang berada di sekelilingnya. Gadis aneh itu...
Kei hanya tertawa kecil membayangkan dugaannya itu.
“Konbanwa, Kei-kun.” Hanabi merapikan sejumput rambut yang menjuntai, dan memindahkannya ke belakang telinga. Kei membalas salam dari gadisnya itu, “Konbanwa, hime. Siap berangkat?”
Hanabi meninju bahu Kei pelan, “Kenapa kita jadi begitu sok romantis, sih, Kei-kun? Aku tidak mengerti. Kau habis menonton drama Korea, yaa?” goda Hanabi.
Sejenak, Kei terlarut dalam pikirannya sendiri.
“Kei-kun?”
Kei menata ekspresinya kembali. “Kau ini cerewet sekali, hime.” Ia mengerling ke arah Hanabi, membuat gadis itu merona wajahnya bak tomat segar.
“Ooh, jadi kau mau menantangku, begitu? Seorang Hazuki Kei mau dipanggil ‘oujisama’, begitu?” Hanabi balik mengejeknya.
“Hanabi!” Kei pura-pura kesal, namun setengah tertawa. Sebenarnya, jika Hanabi yang memanggilnyaoujisama, ia tidak akan keberatan. Bahkan ia punya alasan mengapa mereka
Tapi Hanabi juga terlanjur terlarut dalam sandiwara itu, dan ia memutuskan untuk menghayati perannya dengan memekik seakan ketakutan melihat Kei.
Maka, jadilah di jalanan yang sepi itu, dua orang yang langkahnya diperlambat geta yang dipakai, berkejaran seperti mereka baru saja keluar dari buku dongeng.
***
“Kei-kun, tak ada komen untuk yukataku?” Hanabi pura-pura kecewa saat mereka memasuki area festival. Sambil mempertahankan ekspresinya, Hanabi melirik setiap pasangan yang datang silih berganti. Tempat itu begitu penuh sesak, namun yang terpancar dari wajah setiap yang datang adalah kebahagiaan.
Kei tergagap, “E-eh... kau, kau terlihat seperti goldfish.”
“Hmm? Semacam let-down ya, setelah kau menyebutku dengan panggilan hime.” gumam Hanabi. “Dan lagi,yukata ini bahkan tidak ada unsur emasnya sama sekali.”
Keikemudian tersenyum malu. “Oh, itu karena aku sangat menyukai goldfish.”
“Oh.”
Dominasi semburat merah terasa lagi di wajah Hanabi. Ia mengerti makna yang disiratkan Kei dalam kalimatnya itu. Yah, walau bagaimanapun, Kei masih seorang kuudere. Hal seperti itu sudah tergolong pencapaian fantastis dalam perkembangan hubungan mereka.
Keduanya menautkan tangan masing-masing tanpa dikomando. Kei, yang dagunya berada persis di atas puncak kepala Hanabi, membisiki telinga gadis itu. “Tetaplah dekat denganku, sangat mudah tersesat di sini.”
“Ya, tentu saja...” Hanabi mengangguk, diam-diam senang dengan perhatian Kei. Setahun yang lalu, mereka masih sangat canggung. Syukurlah semuanya bermuara ke hal-hal luar biasa seperti ini. Memiliki seorang Hazuki Kei masih terasa seperti keajaiban dalam hidupnya.
“Hanabi...”
“Ya?”
Kei perlahan membungkuk, berusaha menyamakan posisinya dengan Hanabi. Saat ia hampir mencapai bibir gadis itu, suara mendesing terdengar, membelah keriuhan area itu.
“Ah, kembang apinya sudah mulai dinyalakan!” seseorang meneriakkan kalimat itu dengan semangat, sepertinya ingin mencari perhatian perempuan di sebelahnya. Kei, gagal dalam misinya mencium Hanabi, kemudian menertawai kesialan itu.
Hanabi pun, ikut tertawa geli.
***
Hanabi... secara harfiah berarti kembang api. Bunga yang bermekaran di langit malam. Benda indah yang membuat hati siapapun merasa nyaman walaupun sekadar melihatnya.
Hanabi... benar-benar persis dengan gadis yang berada di sampingnya ini. Saat kehidupan Kei begitu hampa, begitu dingin, begitu tak berarti... gadis ini datang dan mengobrak-abrik segalanya. Menyemarakkannya. Membuatnya merasa hidup kembali.
“Aku kira, konstelasi bintang adalah hal terindah yang ada di langit. Ternyata aku salah,” aku Kei sambil sesekali melirik Hanabi yang terkagum dengan kilasan cahaya warna-warni yang kontras dengan gelapnya malam itu.
“Haha, Kei-kun dengan obsesinya terhadap planetarium,” Hanabi terkikik, tapi tetap memandangi langit. “padahal, menurutku setiap benda yang ada di langit itu menakjubkan.”
“Kau benar.”
“Indah sekali ya, mereka semua?” Hanabi meminta konfirmasi dari Kei, mengacu kepada kembang api di atas sana. “Coba saja mereka dilepaskan setiap hari, dan bukannya setiap tahun... pasti Jepang lebih indah.”
“Ya, rasa-rasanya aku bisa memahami mengapa orangtuamu memberi nama seperti itu.”
Hanabi sekarang menoleh ke arah Kei, yang tersenyum sambil memandangi langit.
Kei hanya mengedikkan bahu. “Mereka cantik,” tambahnya. “Mereka mengejutkanku di setiap detik yang kulalui.
Mereka memberi warna yang berbeda, ganjil namun indah. Mereka mengingatkanku pada seseorang. Kau tahu siapa orangnya?”
Hanabi menggeleng.
“Orang itu saaangat lamban. Padahal, dalam urusan di luar percintaan, ia cerdas luar biasa. Ia bahkan menggeserku dari posisi juara umum di sekolah.”
Menyadari siapa yang dimaksud Kei, Hanabi merengut. Namun, hatinya tersenyum lebar sekali. “Aku malah selalu ingat pada Kei-kun setiap kali aku melihat kembang api.”
“Oh ya? Bagaimana bisa?” sekarang Kei penasaran. Ia kemudian melingkarkan tangan kirinya di pinggang Hanabi, tangan kanannya yang bebas merapikan anak rambut Hanabi yang nakal karena keluar dari gelungnya, dan ia membisikinya lagi, tepat di telinga Hanabi. “Beritahu aku, hime.”
Ya, betul, Hanabi mengingat semuanya yang ia lalui bersama Kei, per kembang api yang dilepaskan ke langit bebas. Setiap warnanya merepresentasikan kejadian-kejadian dalam potongan kenangan yang ia simpan baik-baik di sudut memorinya.
“Rahasia,” alih-alih memberi tahu, Hanabi malah menjulurkan lidahnya. Namun, ia juga mempererat rangkulan Kei dengan cara menautkan kedua tangannya melewati tubuh lelaki yang sangat ia kenal itu.
***
Hanabi memandangi wajah Kei yang menatap lurus angkasa yang kini telah kosong. Rangkaian acara utama dari hanabi matsuri usai sudah, dan kini mereka berada di taman bermain yang biasa mereka jadikan tempat berbincang terakhir seusai kencan. Sungguh, hal itu mungkin wajar bagi orang yang kurang peka, namun bagi
Hanabi yang sudah terlalu mengenal Kei, tatapannya itu berbeda. Dari pertama kali mereka datang, ada yang disembunyikan rapat-rapat darinya. Ah, bukan. Setiap melihat kembang api, Kei memang selalu terlihat sedih.
Dan Hanabi tak tahu mengapa selalu begitu kejadiannya.
“Kei-kun...”
“Ya?”
Hanabi menghela napas. “Bolehkah aku bertanya?”
“Tentu,” Kei menghentikan ayunan yang sedang dinaikinya itu. Mereka berdua memang senang sekali bersikap seperti anak kecil, bermain ayunan di kegelapan malam, ditemani temaram cahaya bulan dan bintang yang berkelip sesudah sinarnya sempat dikalahkan oleh ribuan kembang api tadi.
“Apa yang membuatmu sedih setiap kali kau melihat kembang api?”
Kei menoleh ke arah Hanabi, betul-betul tak menyangka kalau Hanabi akan mempertanyakan hal seperti itu kepadanya.
“Kei-kun?”
Dan Kei bingung sekali harus memulai ini dari mana.
“Well, uh, Hanabi, aku minta maaf karena waktu kali ini mungkin terasa tidak tepat. Tapi, aku akan bicara jujur padamu.” Kei mengambil napas panjang, bersiap untuk menghadapi kemungkinan terburuk.
Hanabi tertegun, bicara jujur macam apa yang Kei maksud?
“Dulu, aku pernah bertemu dengan seorang anak perempuan di sebuah kapel---yang kaca patrinya mengisahkan dongeng yang sama persis dengan buku yang aku warisi dari kakekku. Aku dan anak perempuan itu menyukai kapel itu, setiap hari datang dan bermain bersama. Tapi pada suatu hari, aku harus pergi... tapi aku tak mau menyakiti hati anak perempuan itu.
Akhirnya, pada hari terakhirku di daerah itu, aku menceritakan dongeng tersebut pada si anak perempuan, yang nampaknya masih belum mengerti kalau aku akan pergi.
Dongeng itu betul-betul indah, bercerita tentang seorang pangeran yang harus mengembara ke ujung dunia jika ia ingin bersatu dengan putri yang amat dicintai dan mencintainya. Pangeran itu pergi, namun ia berjanji akan kembali ke sisi sang putri. Sang putri terus berdoa setiap harinya agar pangeran itu dapat kembali dengan selamat ke pelukannya lagi, hari demi hari...
Anak perempuan itu sangat, sangat menyukai dongeng yang kuceritakan. Ia bertanya padaku apakah aku bisa mengisahkan cerita lainnya hari itu. Aku menggeleng, aku tidak bisa. Lalu ia bertanya padaku, apakah aku bisa jika esok hari? Aku tetap tak bisa. Ia berusaha lagi, bagaimana dengan lusa? Atau minggu depan? Aku menggeleng sedih. Aku akan pergi ke tempat yang jauh sekali, aku ingat bilang padanya hal itu.
Ia menangis, tapi ia memegang janjiku untuk aku kembali ke sisinya suatu saat---hanya seperti dongeng yang baru kuceritakan padanya itu. Setelah itu, kami berpisah.”
Hanabi tercekat, tak tahu harus berkata apa.
“Setelah bertahun-tahun kemudian, aku dipertemukan lagi dengan anak perempuan itu. Aku tahu ia pasti berdoa seperti sang putri, hingga aku betul-betul dapat melihatnya lagi. Aku bertemu dengannya di hari pertamaku di Habataki Academy. Aku yakin sekali kalau itu adalah dirinya. Hanya saja, aku takut ia malah akan menjauh dariku jika aku bilang bahwa aku adalah anak lelaki dari masa lalunya. Aku sudah berubah begitu banyak---aku berubah dari anak lelaki yang penuh kehangatan menjadi sebuah patung es yang hatinya hampa. Sedangkan ia masih sama dengan ia yang dulu, senyumnya, tawanya, tangisnya, semuanya...”
Manik rubi milik Hanabi berkaca-kaca, bulir kristal kemudian perlahan menuruni pipinya.
“Ternyata, tanpa aku bilang padanya kalau aku adalah si anak lelaki, aku kembali ke sisinya secara tak sadar.
Sampai pada titik ini aku merasa gamang, karena aku tahu aku takkan lama berada di sini. Haruskah aku meninggalkannya lagi? Namun aku tahu, aku terlalu bodoh untuk dapat menahan diriku sendiri dari berada dekat dengannya. Karena, aku tahu kalau kembang api itu selalu membawa kebahagiaan dimana-mana.
Dan bodohnya lagi, aku tidak dapat menyembunyikan kesedihanku setiap kali aku melihat kembang api... karena aku tahu aku akhirnya harus dipisahkan lagi darinya.”
“K-Kei, Kei-kun... apakah ini artinya kau akan pergi lagi?”
Kei bangkit dari ayunannya, berdiri menghadap Hanabi, si anak perempuan dari masa lalunya itu. Ah, mengapa selalu seperti ini jadinya? Kei telah mengalami pahitnya rasa harus meninggalkan Hanabi dulu di kapel... dan sekarang skemanya berulang.
“Maafkan aku, hime...”
Kei berlutut, mencium gadis yang kedua tangannya memegang tali ayunan erat-erat---untuk pertama dan terakhir kalinya.
***
Setelah Hanabi dapat menerima semuanya, ia berusaha nampak tegar di hadapan Kei. Ia menghapus air matanya dengan tegas, dan berulang kali meyakinkan dirinya sendiri kalau hal ini akan jadi baik-baik saja.
“Kau... akan pergi...”
“Ya.”
“Pergi... lagi...”
“Aku sangat menyesal, Hanabi...”
“Tak apa...”
“Hanabi...” Kei nyaris tak tega melihat Hanabi berpura-pura seperti itu. Sungguh, ia tahu persis perasaan gadis itu, gadis yang mencuri hatinya dari dulu hingga sekarang. Gadis itu pasti merasa kalau Kei adalah orang paling brengsek sedunia, menghancurkan perasaan lembutnya begitu saja.
“Ini semua akan berakhir dengan bahagia, Kei-kun... apa kau tidak percaya?”
“Tentu saja aku percaya,” Kei tersenyum, mencoba menebus rasa bersalah dan rasa kehilangannya sekaligus.
“Ini akan jadi seperti terakhir kali kita membuat janji, kau ingat? Aku akan kembali juga, Hanabi, persis seperti itu.”
Hanabi memeluk Kei erat-erat, mencoba mengoptimalkan momen-momen terakhir mereaka. “Jika kau tak dapat kembali... maka aku yang akan kembali kepadamu.”
Kei tersenyum, “Besok, aku mengambil penerbangan pertama ke Frankfurt. Seharusnya saat ini aku berada di rumah, mengepak semua barang dan semacamnya. Tapi, aku malah berada di sini, bersamamu, dan aku tak menyesali tindakanku ini sama sekali.”
“Well, yeah, terima kasih untuk memberitahuku segalanya. Setidaknya, aku sekarang yakin kalau kau memang anak lelaki itu, anak lelaki berpipi tembam yang warna matanya sangat aneh saat aku melihatnya dulu.”
“Mencoba melawak, nona?” Kei terkekeh, menyetujui pernyataan Hanabi. “Padahal bukan aku yang mengaku tergila-gila dengan warna hijau aneh ini.”
“Dasar Jerman aneh,” Hanabi mengusap matanya yang basah lagi, ikut tertawa. “Mungkin, jika aku rindu dengan mata kucingmu itu, aku hanya tinggal pergi ke Shopping District dan mengagumi poster raksasamu di sana.
Ahaha, kukira kau menjadi model hanya membuatku cemburu setiap kali kau dikelilingi wanita. Ternyata, hal itu berguna juga akhirnya...”
Kei mendadak terlihat sendu lagi, perasaan bersalahnya semakin berlipat ganda.
“Sudah sana, Kei-kun, pulanglah. Orang rumahmu pasti cemas jika kau belum pulang juga sementara penerbanganmu tinggal menghitung jam.” Hanabi mendorong lembut punggung Kei, berusaha menggiringnya keluar dari area taman bermain.
Di luar area taman bermain, lampu-lampu mulai jarang.
“Hanabi, biarkan aku mengantarmu pulang dulu. Ini sudah sangat larut,” Kei bersikeras membalikkan badannya, namun Hanabi menolak, menggelengkan kepalanya kuat-kuat.
“I’m no damsel in distress, Kei-kun, and i will prove it.”
Kei menghela napas. “Dari dulu aku tahu kalau kau adalah wanita terkeras kepala yang pernah kutemui.” Ia kemudian mengecup puncak kepala Hanabi, mengusapnya sebentar, dan berjalan mundur ke kejauhan, nampak masih tak rela memalingkan muka dari Hanabi. Ia melambaikan tangannya ke arah Hanabi, yang masih bisa ia lihat kalau gelungan rambutnya sudah semakin berantakan.
“Sayonara...”
Perlahan, Kei menghilang ditelan gelapnya malam.
***
Hanabi punya alasan sendiri tentang mengapa ia tidak mau diantar pulang oleh Kei.
Sungguh, ia punya, dan alasan itu sangat kuat dan beralasan dan masuk di akal sehingga ia tak mempunyai alasan lain yang dapat membantahnya---sekalipun alasan lain itu berbentuk kesempatan untuk berduaan dengan Kei untuk terakhir kalinya. Dan alasan itu adalah... keengganannya untuk Kei melihat tangisnya yang terisak-isak seperti sekarang.
Ia menangis, memandangi jalanan yang tadi dilalui Kei. Tadi, Kei benar-benar masih ada di sini dan sekarang, ia bahkan tak dapat melihat barang punggungnya sekalipun. Mungkin, ini memang saatnya, saat untuk perpisahan.
“Sayonara...”
Bibirnya bergetar saat mengucapkannya, berharap semesta akan menyampaikannya kepada Kei.
Frankfurt, 6 years later
Seorang blonde berwajah sedikit oriental termangu memandangi sebuah kotak beledu yang ada di tangannya. Kotak beledu itu berisikan sebuah cincin bertahtakan empat buah emerald, berbentuk hati yang disusun sedemikian rupa sehingga bentuknya sama persis dengan semanggi berdaun empat.
Semanggi berdaun empat, yang merepresentasikan harapan, keyakinan, keberuntungan... dan cinta.
Lelaki yang warna maniknya sama persis dengan permata di cincin itu mendesainnya empat tahun yang lalu saat ia masih berada di bangku college. Ditujukan untuk seseorang yang masih menghuni ruang memori dan relung hatinya, seorang wanita yang ia belum penuhi janjinya untuk kembali ke sisinya hanya karena ayah lelaki itu sedang sakit dan bisnis keluarga berada di pundaknya.
Dan ia benci pada dirinya sendiri karena hal itu.
Ia menyesap mocha-nya sambil memandang langit sore. Duduk-duduk di taman Hoher Vogelsberg setiap Sabtu merupakan agenda wajibnya, hanya karena tempat ini mengadakan peluncuran kembang api setiap kali. Walaupun tidak sedahsyat yang ada di Tokyo, hal ini sudah dapat melipur laranya sedikit, tentang kerinduannya pada cahaya ajaib itu. Kerinduannya pada gadis ‘cahaya ajaib’ itu.
Saat ia sedang berbalik badan untuk melihat kembang api yang diluncurkan di arah langit belakangnya, suara yang sangat familiar di telinganya menyapa, membuat otaknya sesaat larut dalam nostalgia.
“Kei-kun...”
Gadis berambut merah yang namanya sama dengan benda favoritnya sekarang itu berdiri di hadapannya, sekarang tidak memakai seragam Habataki Academy---tubuh mungilnya dibalut dalam kemeja kantoran dan rok hitam. Rambutnya memanjang sedikit, dan ia memakai kacamata. Namun, ia tetap Hanabi yang sama. Hanabi-nya. Hanabi yang mengaku bukan damsel in distress. Yang keras kepala, kikuk, dan memesona dalam waktu yang bersamaan. Gadis kecil dalam kapelnya.
Putri dalam dongengnya.
“Kau tidak kembali ke sisiku, Kei-kun... tapi aku yang kembali padamu.”
FIN
Author: Striratna Nityahayu (@antarirts)
Genre: Romance
Rate: T
Length: Oneshot!
Cast: Hazuki Kei (Tokimeki Memorial Girl’s Side), Ishida Hanabi (Original Character)
Disclaimer: Hazuki Kei adalah kepemilikan Konami. Plot sepenuhnya dimiliki penulis, hal yang sama berlaku untuk Ishida Hanabi. Fiksi ini dibuat berdasarkan otome game Tokimeki Memorial Girl’s Side, dan semata untuk hiburan, penulis tidak menerima keuntungan apapun dari pembuatannya.
***
Fireworks, Farewell, and Love
Ever wonder why Kei always looks a bit sad when he sees fireworks?
Ishida Hanabi sebenarnya nervous setengah mati malam ini.
Walaupun sudah pernah menghadiri hanabi matsuri atau festival dirinya sendiri---bercanda, bersama Kei pada tahun pertama, pada waktu itu ia tidak memakai yukata karena uangnya tidak cukup untuk membeli barang satu.
Maka, di tahun ia berniat untuk menebus kebodohannya dengan tampil sebaik mungkin untuk Kei. Dari jauh-jauh hari ia telah mempersiapkan segalanya untuk malam indah di musim panas ini--- musim yang tadinya tak pernah ia sukai sebelum bertemu Kei.
Astaga, ia bahkan tak tahu ia bermimpi atau tidak. Rasanya ia masih tidak mengerti mengapa seorang Hazuki Kei memilih gadis yang sangat biasa seperti dirinya, di saat gadis-gadis cantik dengan rambut yang panjang dan lembut, yang tak perlu repot memusingkan sanggulan untuk festival semacam ini, bertebaran di mana-mana.
Sungguh, Hanabi tak habis pikir. Jika saja ia tidak terlanjur mencintai Kei sebegitu hebat, pasti ia sudah meragukan motif Kei sedari dulu. Untuk apa lelaki sekaliber Kei menyukainya?
Namun, yah, kau tahu teman, cinta terkadang memang buta. Dan agak bodoh. Dan naif. Oh tidak... cinta kedengaran mirip sekali dengan karakternya.
Hanabi harus siap. Hanabi harus percaya diri. Hanabi pantas kok, bersanding dengan Kei.
Maka, dengan diiringi bunyi geta yang nyaring saat beradu dengan permukaan bumi, Hanabi membuka pintu rumahnya, untuk menemui seorang malaikat dengan surai keemasan dan mata hijau yang senada dengan aksen yukata berwarna broken white-nya.
Tidak melebih-lebihkan, Kei betul-betul terlihat seperti malaikat. Atau pangeran Jepang tampan dari masa silam. Entahlah, pilih saja yang manapun, yang jelas darahnya nyaris tersirap melihat Kei dengan senyum sumringah yang terlukis di wajah rupawannya itu.
***
Hazuki Kei berdiri di depan gerbang rumah seorang gadis dengan perasaan tak keruan.
Padahal, siapa pun yang melihatnya akan mengira Tuhan sedang berada dalam mood yang bagus sehingga Dia menurunkan malaikat dalam balutan yukata putih beraksen hijau. Hazuki Kei, model berdarah Jepang-Jerman laksana patung es yang dipahat Michaelangelo, ternyata bisa jatuh cinta juga pada seorang gadis. Dan ternyata gerbang rumah itu adalah gerbang rumah si gadis yang berhasil meluluhkan hati esnya.
Ya, Kei sendiri tidak menyangka ia akan mengalami hal yang disebut head over heels terhadap siapapun. Tapi ketika ia bertemu dengan Ishida Hanabi... dunianya memang dijungkir balik. Ada begitu banyak alasan mengapa ia begitu mencintai gadis clumsy itu. Oh, Kami-sama, bahkan Kei ingin memeluk Hanabi erat-erat setiap kali ia melakukan hal-hal yang kikuk. Di mata Kei, kekikukan Hanabi hanyalah sesuatu yang membuatnya makin sempurna.
Dan dalam malam yang spesial ini, ia harus menyiapkan hatinya yang terlanjur terperosok begitu dalam—untuk perpisahan.
Pintu rumah yang sangat dikenalnya karena setiap kali ia mengantar Hanabi sampai ke depannya itu, terbuka. Memunculkan keindahan berwujud seorang putri dalam sanggulan yang sedikit berantakan, danyukata hitam-ungu bercorak kupu-kupu itu menambah sensasi magisnya.
Berani taruhan, Hanabi pasti pusing saat menggelung rambut pendeknya itu. Dan juga, ia pasti menabung untuk dapat membeli yukata yang sangat sesuai dengan selera Kei. Ya, Kei tahu tujuan hidup Hanabi adalah untuk menyenangkan orang yang berada di sekelilingnya. Gadis aneh itu...
Kei hanya tertawa kecil membayangkan dugaannya itu.
“Konbanwa, Kei-kun.” Hanabi merapikan sejumput rambut yang menjuntai, dan memindahkannya ke belakang telinga. Kei membalas salam dari gadisnya itu, “Konbanwa, hime. Siap berangkat?”
Hanabi meninju bahu Kei pelan, “Kenapa kita jadi begitu sok romantis, sih, Kei-kun? Aku tidak mengerti. Kau habis menonton drama Korea, yaa?” goda Hanabi.
Sejenak, Kei terlarut dalam pikirannya sendiri.
“Kei-kun?”
Kei menata ekspresinya kembali. “Kau ini cerewet sekali, hime.” Ia mengerling ke arah Hanabi, membuat gadis itu merona wajahnya bak tomat segar.
“Ooh, jadi kau mau menantangku, begitu? Seorang Hazuki Kei mau dipanggil ‘oujisama’, begitu?” Hanabi balik mengejeknya.
“Hanabi!” Kei pura-pura kesal, namun setengah tertawa. Sebenarnya, jika Hanabi yang memanggilnyaoujisama, ia tidak akan keberatan. Bahkan ia punya alasan mengapa mereka
Tapi Hanabi juga terlanjur terlarut dalam sandiwara itu, dan ia memutuskan untuk menghayati perannya dengan memekik seakan ketakutan melihat Kei.
Maka, jadilah di jalanan yang sepi itu, dua orang yang langkahnya diperlambat geta yang dipakai, berkejaran seperti mereka baru saja keluar dari buku dongeng.
***
“Kei-kun, tak ada komen untuk yukataku?” Hanabi pura-pura kecewa saat mereka memasuki area festival. Sambil mempertahankan ekspresinya, Hanabi melirik setiap pasangan yang datang silih berganti. Tempat itu begitu penuh sesak, namun yang terpancar dari wajah setiap yang datang adalah kebahagiaan.
Kei tergagap, “E-eh... kau, kau terlihat seperti goldfish.”
“Hmm? Semacam let-down ya, setelah kau menyebutku dengan panggilan hime.” gumam Hanabi. “Dan lagi,yukata ini bahkan tidak ada unsur emasnya sama sekali.”
Keikemudian tersenyum malu. “Oh, itu karena aku sangat menyukai goldfish.”
“Oh.”
Dominasi semburat merah terasa lagi di wajah Hanabi. Ia mengerti makna yang disiratkan Kei dalam kalimatnya itu. Yah, walau bagaimanapun, Kei masih seorang kuudere. Hal seperti itu sudah tergolong pencapaian fantastis dalam perkembangan hubungan mereka.
Keduanya menautkan tangan masing-masing tanpa dikomando. Kei, yang dagunya berada persis di atas puncak kepala Hanabi, membisiki telinga gadis itu. “Tetaplah dekat denganku, sangat mudah tersesat di sini.”
“Ya, tentu saja...” Hanabi mengangguk, diam-diam senang dengan perhatian Kei. Setahun yang lalu, mereka masih sangat canggung. Syukurlah semuanya bermuara ke hal-hal luar biasa seperti ini. Memiliki seorang Hazuki Kei masih terasa seperti keajaiban dalam hidupnya.
“Hanabi...”
“Ya?”
Kei perlahan membungkuk, berusaha menyamakan posisinya dengan Hanabi. Saat ia hampir mencapai bibir gadis itu, suara mendesing terdengar, membelah keriuhan area itu.
“Ah, kembang apinya sudah mulai dinyalakan!” seseorang meneriakkan kalimat itu dengan semangat, sepertinya ingin mencari perhatian perempuan di sebelahnya. Kei, gagal dalam misinya mencium Hanabi, kemudian menertawai kesialan itu.
Hanabi pun, ikut tertawa geli.
***
Hanabi... secara harfiah berarti kembang api. Bunga yang bermekaran di langit malam. Benda indah yang membuat hati siapapun merasa nyaman walaupun sekadar melihatnya.
Hanabi... benar-benar persis dengan gadis yang berada di sampingnya ini. Saat kehidupan Kei begitu hampa, begitu dingin, begitu tak berarti... gadis ini datang dan mengobrak-abrik segalanya. Menyemarakkannya. Membuatnya merasa hidup kembali.
“Aku kira, konstelasi bintang adalah hal terindah yang ada di langit. Ternyata aku salah,” aku Kei sambil sesekali melirik Hanabi yang terkagum dengan kilasan cahaya warna-warni yang kontras dengan gelapnya malam itu.
“Haha, Kei-kun dengan obsesinya terhadap planetarium,” Hanabi terkikik, tapi tetap memandangi langit. “padahal, menurutku setiap benda yang ada di langit itu menakjubkan.”
“Kau benar.”
“Indah sekali ya, mereka semua?” Hanabi meminta konfirmasi dari Kei, mengacu kepada kembang api di atas sana. “Coba saja mereka dilepaskan setiap hari, dan bukannya setiap tahun... pasti Jepang lebih indah.”
“Ya, rasa-rasanya aku bisa memahami mengapa orangtuamu memberi nama seperti itu.”
Hanabi sekarang menoleh ke arah Kei, yang tersenyum sambil memandangi langit.
Kei hanya mengedikkan bahu. “Mereka cantik,” tambahnya. “Mereka mengejutkanku di setiap detik yang kulalui.
Mereka memberi warna yang berbeda, ganjil namun indah. Mereka mengingatkanku pada seseorang. Kau tahu siapa orangnya?”
Hanabi menggeleng.
“Orang itu saaangat lamban. Padahal, dalam urusan di luar percintaan, ia cerdas luar biasa. Ia bahkan menggeserku dari posisi juara umum di sekolah.”
Menyadari siapa yang dimaksud Kei, Hanabi merengut. Namun, hatinya tersenyum lebar sekali. “Aku malah selalu ingat pada Kei-kun setiap kali aku melihat kembang api.”
“Oh ya? Bagaimana bisa?” sekarang Kei penasaran. Ia kemudian melingkarkan tangan kirinya di pinggang Hanabi, tangan kanannya yang bebas merapikan anak rambut Hanabi yang nakal karena keluar dari gelungnya, dan ia membisikinya lagi, tepat di telinga Hanabi. “Beritahu aku, hime.”
Ya, betul, Hanabi mengingat semuanya yang ia lalui bersama Kei, per kembang api yang dilepaskan ke langit bebas. Setiap warnanya merepresentasikan kejadian-kejadian dalam potongan kenangan yang ia simpan baik-baik di sudut memorinya.
“Rahasia,” alih-alih memberi tahu, Hanabi malah menjulurkan lidahnya. Namun, ia juga mempererat rangkulan Kei dengan cara menautkan kedua tangannya melewati tubuh lelaki yang sangat ia kenal itu.
***
Hanabi memandangi wajah Kei yang menatap lurus angkasa yang kini telah kosong. Rangkaian acara utama dari hanabi matsuri usai sudah, dan kini mereka berada di taman bermain yang biasa mereka jadikan tempat berbincang terakhir seusai kencan. Sungguh, hal itu mungkin wajar bagi orang yang kurang peka, namun bagi
Hanabi yang sudah terlalu mengenal Kei, tatapannya itu berbeda. Dari pertama kali mereka datang, ada yang disembunyikan rapat-rapat darinya. Ah, bukan. Setiap melihat kembang api, Kei memang selalu terlihat sedih.
Dan Hanabi tak tahu mengapa selalu begitu kejadiannya.
“Kei-kun...”
“Ya?”
Hanabi menghela napas. “Bolehkah aku bertanya?”
“Tentu,” Kei menghentikan ayunan yang sedang dinaikinya itu. Mereka berdua memang senang sekali bersikap seperti anak kecil, bermain ayunan di kegelapan malam, ditemani temaram cahaya bulan dan bintang yang berkelip sesudah sinarnya sempat dikalahkan oleh ribuan kembang api tadi.
“Apa yang membuatmu sedih setiap kali kau melihat kembang api?”
Kei menoleh ke arah Hanabi, betul-betul tak menyangka kalau Hanabi akan mempertanyakan hal seperti itu kepadanya.
“Kei-kun?”
Dan Kei bingung sekali harus memulai ini dari mana.
“Well, uh, Hanabi, aku minta maaf karena waktu kali ini mungkin terasa tidak tepat. Tapi, aku akan bicara jujur padamu.” Kei mengambil napas panjang, bersiap untuk menghadapi kemungkinan terburuk.
Hanabi tertegun, bicara jujur macam apa yang Kei maksud?
“Dulu, aku pernah bertemu dengan seorang anak perempuan di sebuah kapel---yang kaca patrinya mengisahkan dongeng yang sama persis dengan buku yang aku warisi dari kakekku. Aku dan anak perempuan itu menyukai kapel itu, setiap hari datang dan bermain bersama. Tapi pada suatu hari, aku harus pergi... tapi aku tak mau menyakiti hati anak perempuan itu.
Akhirnya, pada hari terakhirku di daerah itu, aku menceritakan dongeng tersebut pada si anak perempuan, yang nampaknya masih belum mengerti kalau aku akan pergi.
Dongeng itu betul-betul indah, bercerita tentang seorang pangeran yang harus mengembara ke ujung dunia jika ia ingin bersatu dengan putri yang amat dicintai dan mencintainya. Pangeran itu pergi, namun ia berjanji akan kembali ke sisi sang putri. Sang putri terus berdoa setiap harinya agar pangeran itu dapat kembali dengan selamat ke pelukannya lagi, hari demi hari...
Anak perempuan itu sangat, sangat menyukai dongeng yang kuceritakan. Ia bertanya padaku apakah aku bisa mengisahkan cerita lainnya hari itu. Aku menggeleng, aku tidak bisa. Lalu ia bertanya padaku, apakah aku bisa jika esok hari? Aku tetap tak bisa. Ia berusaha lagi, bagaimana dengan lusa? Atau minggu depan? Aku menggeleng sedih. Aku akan pergi ke tempat yang jauh sekali, aku ingat bilang padanya hal itu.
Ia menangis, tapi ia memegang janjiku untuk aku kembali ke sisinya suatu saat---hanya seperti dongeng yang baru kuceritakan padanya itu. Setelah itu, kami berpisah.”
Hanabi tercekat, tak tahu harus berkata apa.
“Setelah bertahun-tahun kemudian, aku dipertemukan lagi dengan anak perempuan itu. Aku tahu ia pasti berdoa seperti sang putri, hingga aku betul-betul dapat melihatnya lagi. Aku bertemu dengannya di hari pertamaku di Habataki Academy. Aku yakin sekali kalau itu adalah dirinya. Hanya saja, aku takut ia malah akan menjauh dariku jika aku bilang bahwa aku adalah anak lelaki dari masa lalunya. Aku sudah berubah begitu banyak---aku berubah dari anak lelaki yang penuh kehangatan menjadi sebuah patung es yang hatinya hampa. Sedangkan ia masih sama dengan ia yang dulu, senyumnya, tawanya, tangisnya, semuanya...”
Manik rubi milik Hanabi berkaca-kaca, bulir kristal kemudian perlahan menuruni pipinya.
“Ternyata, tanpa aku bilang padanya kalau aku adalah si anak lelaki, aku kembali ke sisinya secara tak sadar.
Sampai pada titik ini aku merasa gamang, karena aku tahu aku takkan lama berada di sini. Haruskah aku meninggalkannya lagi? Namun aku tahu, aku terlalu bodoh untuk dapat menahan diriku sendiri dari berada dekat dengannya. Karena, aku tahu kalau kembang api itu selalu membawa kebahagiaan dimana-mana.
Dan bodohnya lagi, aku tidak dapat menyembunyikan kesedihanku setiap kali aku melihat kembang api... karena aku tahu aku akhirnya harus dipisahkan lagi darinya.”
“K-Kei, Kei-kun... apakah ini artinya kau akan pergi lagi?”
Kei bangkit dari ayunannya, berdiri menghadap Hanabi, si anak perempuan dari masa lalunya itu. Ah, mengapa selalu seperti ini jadinya? Kei telah mengalami pahitnya rasa harus meninggalkan Hanabi dulu di kapel... dan sekarang skemanya berulang.
“Maafkan aku, hime...”
Kei berlutut, mencium gadis yang kedua tangannya memegang tali ayunan erat-erat---untuk pertama dan terakhir kalinya.
***
Setelah Hanabi dapat menerima semuanya, ia berusaha nampak tegar di hadapan Kei. Ia menghapus air matanya dengan tegas, dan berulang kali meyakinkan dirinya sendiri kalau hal ini akan jadi baik-baik saja.
“Kau... akan pergi...”
“Ya.”
“Pergi... lagi...”
“Aku sangat menyesal, Hanabi...”
“Tak apa...”
“Hanabi...” Kei nyaris tak tega melihat Hanabi berpura-pura seperti itu. Sungguh, ia tahu persis perasaan gadis itu, gadis yang mencuri hatinya dari dulu hingga sekarang. Gadis itu pasti merasa kalau Kei adalah orang paling brengsek sedunia, menghancurkan perasaan lembutnya begitu saja.
“Ini semua akan berakhir dengan bahagia, Kei-kun... apa kau tidak percaya?”
“Tentu saja aku percaya,” Kei tersenyum, mencoba menebus rasa bersalah dan rasa kehilangannya sekaligus.
“Ini akan jadi seperti terakhir kali kita membuat janji, kau ingat? Aku akan kembali juga, Hanabi, persis seperti itu.”
Hanabi memeluk Kei erat-erat, mencoba mengoptimalkan momen-momen terakhir mereaka. “Jika kau tak dapat kembali... maka aku yang akan kembali kepadamu.”
Kei tersenyum, “Besok, aku mengambil penerbangan pertama ke Frankfurt. Seharusnya saat ini aku berada di rumah, mengepak semua barang dan semacamnya. Tapi, aku malah berada di sini, bersamamu, dan aku tak menyesali tindakanku ini sama sekali.”
“Well, yeah, terima kasih untuk memberitahuku segalanya. Setidaknya, aku sekarang yakin kalau kau memang anak lelaki itu, anak lelaki berpipi tembam yang warna matanya sangat aneh saat aku melihatnya dulu.”
“Mencoba melawak, nona?” Kei terkekeh, menyetujui pernyataan Hanabi. “Padahal bukan aku yang mengaku tergila-gila dengan warna hijau aneh ini.”
“Dasar Jerman aneh,” Hanabi mengusap matanya yang basah lagi, ikut tertawa. “Mungkin, jika aku rindu dengan mata kucingmu itu, aku hanya tinggal pergi ke Shopping District dan mengagumi poster raksasamu di sana.
Ahaha, kukira kau menjadi model hanya membuatku cemburu setiap kali kau dikelilingi wanita. Ternyata, hal itu berguna juga akhirnya...”
Kei mendadak terlihat sendu lagi, perasaan bersalahnya semakin berlipat ganda.
“Sudah sana, Kei-kun, pulanglah. Orang rumahmu pasti cemas jika kau belum pulang juga sementara penerbanganmu tinggal menghitung jam.” Hanabi mendorong lembut punggung Kei, berusaha menggiringnya keluar dari area taman bermain.
Di luar area taman bermain, lampu-lampu mulai jarang.
“Hanabi, biarkan aku mengantarmu pulang dulu. Ini sudah sangat larut,” Kei bersikeras membalikkan badannya, namun Hanabi menolak, menggelengkan kepalanya kuat-kuat.
“I’m no damsel in distress, Kei-kun, and i will prove it.”
Kei menghela napas. “Dari dulu aku tahu kalau kau adalah wanita terkeras kepala yang pernah kutemui.” Ia kemudian mengecup puncak kepala Hanabi, mengusapnya sebentar, dan berjalan mundur ke kejauhan, nampak masih tak rela memalingkan muka dari Hanabi. Ia melambaikan tangannya ke arah Hanabi, yang masih bisa ia lihat kalau gelungan rambutnya sudah semakin berantakan.
“Sayonara...”
Perlahan, Kei menghilang ditelan gelapnya malam.
***
Hanabi punya alasan sendiri tentang mengapa ia tidak mau diantar pulang oleh Kei.
Sungguh, ia punya, dan alasan itu sangat kuat dan beralasan dan masuk di akal sehingga ia tak mempunyai alasan lain yang dapat membantahnya---sekalipun alasan lain itu berbentuk kesempatan untuk berduaan dengan Kei untuk terakhir kalinya. Dan alasan itu adalah... keengganannya untuk Kei melihat tangisnya yang terisak-isak seperti sekarang.
Ia menangis, memandangi jalanan yang tadi dilalui Kei. Tadi, Kei benar-benar masih ada di sini dan sekarang, ia bahkan tak dapat melihat barang punggungnya sekalipun. Mungkin, ini memang saatnya, saat untuk perpisahan.
“Sayonara...”
Bibirnya bergetar saat mengucapkannya, berharap semesta akan menyampaikannya kepada Kei.
Frankfurt, 6 years later
Seorang blonde berwajah sedikit oriental termangu memandangi sebuah kotak beledu yang ada di tangannya. Kotak beledu itu berisikan sebuah cincin bertahtakan empat buah emerald, berbentuk hati yang disusun sedemikian rupa sehingga bentuknya sama persis dengan semanggi berdaun empat.
Semanggi berdaun empat, yang merepresentasikan harapan, keyakinan, keberuntungan... dan cinta.
Lelaki yang warna maniknya sama persis dengan permata di cincin itu mendesainnya empat tahun yang lalu saat ia masih berada di bangku college. Ditujukan untuk seseorang yang masih menghuni ruang memori dan relung hatinya, seorang wanita yang ia belum penuhi janjinya untuk kembali ke sisinya hanya karena ayah lelaki itu sedang sakit dan bisnis keluarga berada di pundaknya.
Dan ia benci pada dirinya sendiri karena hal itu.
Ia menyesap mocha-nya sambil memandang langit sore. Duduk-duduk di taman Hoher Vogelsberg setiap Sabtu merupakan agenda wajibnya, hanya karena tempat ini mengadakan peluncuran kembang api setiap kali. Walaupun tidak sedahsyat yang ada di Tokyo, hal ini sudah dapat melipur laranya sedikit, tentang kerinduannya pada cahaya ajaib itu. Kerinduannya pada gadis ‘cahaya ajaib’ itu.
Saat ia sedang berbalik badan untuk melihat kembang api yang diluncurkan di arah langit belakangnya, suara yang sangat familiar di telinganya menyapa, membuat otaknya sesaat larut dalam nostalgia.
“Kei-kun...”
Gadis berambut merah yang namanya sama dengan benda favoritnya sekarang itu berdiri di hadapannya, sekarang tidak memakai seragam Habataki Academy---tubuh mungilnya dibalut dalam kemeja kantoran dan rok hitam. Rambutnya memanjang sedikit, dan ia memakai kacamata. Namun, ia tetap Hanabi yang sama. Hanabi-nya. Hanabi yang mengaku bukan damsel in distress. Yang keras kepala, kikuk, dan memesona dalam waktu yang bersamaan. Gadis kecil dalam kapelnya.
Putri dalam dongengnya.
“Kau tidak kembali ke sisiku, Kei-kun... tapi aku yang kembali padamu.”
FIN