The Bond Between Us
Tittle : The Bond between Us
Author : Hanna Fauzia [@HannaFauzia]
Genre : Romance/Drama
Rate : All Ages
Length : One Shot
Cast : Rin Kagamine, Len Kagamine, Hatsune Miku (VOCALOID)
Disclaimer : The character aren’t mine, all rights belong to CFM and Yamaha corporation. Still, this story pure made by my imagination.
(Rin’s Point of View)
Ada beberapa hal yang kusuka dalam hidupku. Pertama, Ibu yang telah membesarkanku seorang diri setelah ayah meninggal karena penyakit yang dideritanya. Kedua, rambut berwarna kuning keemasan yang terlihat indah tertimpa sinar matahari. Dan ketiga, kau tahu? Nama yang sama dengan orang yang kusukai!Well, I don't have anything I could ask anymore!
Untuk kalimatku yang terakhir, itu menyimpan sedikit kebohongan sih. Kenapa? Yaa kau akan tahu nanti.
***
Pagi hariku diawali dengan menyisir rambut kuning keemasanku di depan cermin setelah mandi, sembari tersenyum sedikit aku melihat bayanganku di cermin dan menatap dalam-dalam bola mata berwarna biru emerald milikku. Setelah puas memandangi diriku sendiri, aku pun keluar dari kamar mandi dan segera bersiap kesekolah.
“Rin, cepat sarapan!” terdengar suara Ibu berteriak dari lantai bawah, mendengar suara ibu yang penuh perhatian di pagi hari merupakan sesuatu yang menyegarkan bukan?”
“Iya buuu otw nihh” balasku sambil menyambar tas sekolah dan tidak lupa memakai bando dengan pita berwarna putih yang sudah menjadi trade mark ku.
Ibu menyiapkan sarapan bergizi seperti biasa, sup jagung, salad sayur dengan dressing susu dan segelas susu segar. Sepertinya Ibu bukan penganut aliran menjadikan roti sebagai sarapan, kecuali itu saat darurat, kuulangi, DARURAT. Misalnya aku menghancurkan dapurnya seperti yang kulakukan waktu itu… hehe jangan tanyakan detailnya karena kalian pasti akan menyesal setelah mengetahuinya.
“Rin, hari ini bisa pulang agak cepat?” tanya Ibu sambil menambahkan dressing ke atas saladnya.
“hah? Kenapa? Gak janji yaaa soalnya mau main duluuu biasalah anak gaul hehehee” kataku sambil cengengesan dan menghabiskan sarapanku secepatnya, maklum, dikejar waktu.
“ituu…” ibu mengehentikan kalimatnya sejenak,
“OHHHH pasti mau ngajak karaoke nih! Hahaha taudah ibu mah mau gak kalah gaul kaannn” sambarku seenaknya, duo ibu-anak ini emang hobi karaoke di sela-sela kesibukan kok!
“yeee itu mah lain kali, ini ada soal lainnn—”
“bu entar aja yaaak! Udah telat banget iniii byeee laf you deh buu!” seruku sambil meneguk habis susu segarku dan langsung bergegas keluar rumah, terlihat ibu yang melambaikan tangannya dan sepertinya merasa agak kesal karena kalimatnya terpotong.
***
Aku berlari sekuat tenaga menuju sekolah tepat setelah keluar dari kereta langgananku. Jarak antara stasiun dan sekolah sebenarnya 15 menit dengan jalan kaki, tapi dengan kekuatan lari seorang Rin Kagamine? Beehh 5 menit juga ayo ajaa!
Yapp benar saja, gerbang sekolah sudah di depan mataku sekarang. Tapi… okay, gerbang yang sebenarnya nyaris ditutup, dan seorang Rin Kagamine kini sedang menambah kecepatan berlarinya dan niat (nekad?) menyongsong gerbang tersebut. Hidup atau mati yang penting masuk dulu ke sekolah!
Dengan hitungan mundur aku melompat dan nyempil diantara gerbang dan dinding yang jaraknya kini tak lebih dari 30cm itu. Oh, kalian bisa memanggilku Ms. Slim, I don't mind. Tinggal selangkah lagi aku mampu mendarat ke halaman sekolah, tiba-tiba sebuah lengan mencengkramku dan menahan gerakanku disusul dengan bunyi bel sekolah dan bunyi seorang wanita yang terjatuh dengan tidak elegannya.
“Aduhh… yang ngeselin pasti kau kan—” keluhku sambil mengusap pantat ku yang mendarat terlebih dahulu ke tanah keras ini.
“Oii Len, pasti kau kan yang barusan ngebanting cewek cantik ini!?” teriakku sambil mengarahkan jari telunjukku ke arah hidung mancung milik seorang pemuda berwajah tampan dengan rambut kuning keemasan yang mirip dengan milikku.
“Whoaa, sebentar sebentar. Siapa yang kau sebut wanita cantik?” katanya sambil menurunkan jari telunjuk dan menatapku remeh. Dengan jelas aku bisa melihat tanpa pengenal yang tersemat di dadanya, ‘Ketua Komite Kedisiplinan’.
“Well, tentu saja itu sebutan yang pantas untuk seorang Rin Kagamine. Betul begitu ketua komite kedisiplinan, Mr. Len Kagamine?” balasku sambil berdiri dan menepuk seragamku yang penuh debu.
“Terserah kau, Rin. Aku akan dengan senang hati memberimu minus 5 atas aksi menorobos gerbangmu hari ini.” Katanya sambil mencatat sesuatu di kertas yang diletakkan di atas papan hitamnya. Biar kuperkenalkan laki-laki ngeselin didepan mataku ini, yap, dia lah Len Kagamine sang ketua komite kedisiplinan yang selalu mengganggu aksiku di pagi hari. Dan walaupun marga kami sama, bukan, kami bukan keluarga, suatu kebetulan bukan?
Bahkan paras kami cukup mirip. Dan ya, inilah laki-laki yang sangat kusukai saat ini.
“What the-- apanya menerobos gerbang! Kan masih kebuka dan aku bisa melewatinya!” protesku,
“Menerobos adalah menerobos, dan telat adalah telat. Betul begitu, Rin Kagamine-san?”
“Heiii enak aja! Pokoknya aku enggak menerobos dan enggak telat! Camkan itu Len Kagamine-san. Atau kau akan mendapatkan akibatnya di kelas nanti!”
“Whoaa, aku takut pikirmu? You know, I could do better. Terimalah nasibmu kali ini~”
“Tidak adalah tidak, Len Kagamine. Dan ya kau harus takut padaku!”
“Iya adalah iya, Rin Kagamine!”
“Tidak!”
“Iya!”
Dan perdebatan kami terus berlanjut hingga seorang guru menyadarkan kami bahwa kami hanya tinggal berdua dan kelas telah dimulai. Gawddd!
***
Saat ini, seorang Rin Kagamine berdiri bersampingan dengan laki-laki yang ia sukai, bukan karena aku menginginkannya sih. Tapi yaa, saat ini aku dan Len sedang menjalani hukuman berdiri di koridor karena telat masuk ke jam pertama.
“Ahh sial, kenapa seorang ketua komite sepertiku harus telat lagi karenamu! Kalau aku dipecat dari jabatanku, itu semua salahmu!” keluh Len dan mengarahkan telunjuknya ke arahku.
“Ohh iya iyaaa, terserah kamu dehh” jawabku sekadarnya. Sebenarnya aku cukup menikmati saat-saat berdua seperti ini, menikmati kesunyian ditengah koridor sekolah.
“Kenapa sih kayaknya kamu kayaknya nikmatin banget hukuman kayak gini? Mana hampir setiap hari lagi!” kata Len dan memasukkan tangannya ke dalam saku celana.
Mana mungkin aku jawab kalau aku melakukannya dengan sengaja? Masuk ke sekolah berpepetan dengan waktu masuk, menerobos gerbang, dan berdebat di depan gerbang sekolah itu semuanya supaya bisa berduaan seperti ini!
“…aku ingin bersamamu…” bisikku lirih tanpa sadar,
“hah? Bilang apa?” tanya Len dan membuatku sadar apa yang hampir saja aku katakan keras-keras.
“hah? Ohh aku bilang, ini semua kan karena kamu juga sering menghalangiku!” jawabku dengan angkuh, duhh kenapa aku gabisa jujur ya?
“Ohh, kukira kamu bilang ingin bersamaku hahahaha,” katanya sambil tertawa remeh,
“A-apaan sih nggak mungkin laahh!” bantahku, aku yakin saat ini mukaku bersemu merah.
“dan pelanggaran memang pelanggaran Rin Kagamine,” lanjutnya,
“Ooiii pasangan sejoli Kagamine! Betah amat sih berdiri di depan kelas, cepetan masuk udah jam ketiga nihh!” seru salah satu teman sekelasku yang menongolkan kepalanya dari balik pintu kelas. Kami pun terkaget dan berjalan memasuki kelas.
“Sayang ya, padahal aku masih mau bersama kamu lebih lama lho!” kata Len pelan sambil memunggungiku dengan tangannya yang menyilang dibelakang kepalanya. Aku merasa ada yang salah dari telingaku kali ini, benarkah tadi Len barusan mengatakan itu?
***
Wajahku masih terasa panas dan dadaku berdegup kencang sejak kalimat yang aku dengar sekilas dari Len tadi. Dia mungkin hanya bercanda sih, tapi tetap saja benar-benar berefek padaku.
Aku pun berjalan menyusuri koridor yang cukup ramai di jam istirahat ke arah kantin, cacing-cacing perutku telah berdemo untuk segera diberi asupan makanan. Tapi kau tahu? Aku kembali dari kantin tanpa membawa apapun. Sial, karena bengong dan mikirin Len mulu aku jadi terlambat dan kehabisan roti susu strawberry kesukaanku!
“Aaahhh kalau begini aku harusnya bawa bekaaal!” teriakku sambil mengacak-ngacak rambut, setelah itu menyesali perbuatanku yang mengakibatkan beberapa helai rambutku melawan gravitasi dan membuatku terlihat seperti orang yang tidak mandi.
“Gawd…” keluhku sambil merapihkan rambut dan menyempatkan sejenak berkaca di cermin yang terletak di samping tangga sekolah dan merapihkan rambutku dengan jari. Tangga sekolah bagian barat memang sepi karena cukup jauh dari ruang kelas, tapi aku lewat sini saja demi melupakan sejenak soal lapar dan Len— akh jadi ingat lagi kan!
“Kagamine-san? Bisa bicara sebentar?” kata orang dibelakangku, aku melihat pantulan tubuhnya dari cermin. Seorang gadis dengan tubuh cukup tinggi dan memiliki rambut panjang berwarna hijau toska.Hatsune Miku, cewek populer disini, pikirku.
“Ya? Hatsune-san?” jawabku sambil memutarkan badanku menghadap dirinya. Gadis dengan mata biru langit yang dihiasi dengan bulu mata lentik ini menatapku tajam. Kulihat dibelakangnya ada beberapa cewek lain yang tidak kukenal namanya, tapi yang aku tahu mereka adalah pengikut sang Hatsune Miku.
“Kau tahu, sepertinya kau agak terlalu dekat dengan Len?” ucapnya sambil memberi penekanan pada kata terlalu, whoa apa masalah cewek ini sampai jutek sekali denganku?
“Ah yaa, sepertinya begitu?” jawabku sekedarnya, haruskah aku takut pada cewek populer ini? Toh dia sama sekali bukan siapa-siapa, kecuali dia anak perdana menteri, mungkin aku takut.
“Sepertinya kau jadi besar kepala hanya karena nama keluargamu sama dengan Len ya!? Kau tidak tahu apa Len itu idola semua orang?” bentaknya padaku, membuatku tersentak sedikit. Tangan Hatsune terangkat keatas dan hendak menampar pipiku. Aku reflek menutup mukaku dengan telapak tangan.
Tapi sebelum aku sempat menepis tamparannya, sudah ada tangan lain yang menahan Miku. …Len?
“Len!” seru ku dan Miku bersamaan, kaget karena tiba-tiba Len muncul diantara kami dan menghentikan tamparan Miku yang mengarah kepadaku.
“Hei heei, apa yang mau kamu lakukan barusan itu Hatsune-san?” tanya Len sambil tertawa sedikit, dia pun melepas tangan Miku yang di tahannya tadi, walaupun sebenarnya Miku yang menarik paksa agar tangannya dilepas.
“A-apaan sih! Aku cuma mau memberi pelajaran sama cewek besar kepala ini hanya karena nama keluarganya sama denganmu! Memangnya segitu pentingnya kah karena kebetulan namanya sama!?” bentak Miku sambil melemparkan tatapan tajam ke arahku.
Aku hendak menjawab bentakannya itu, tentu saja ini penting! “Ten—”
“Penting mananya sih? Toh ini juga kebetulan kannn, jangan melebih-lebihkan!” Len memotong kalimatku, aku merasakan jantungku berhenti beberapa detik.
Iya juga ya, bagi Len pasti ini gak penting. Kebetulan kan? Ya, hanya kebetulan biasa. Miku benar, ini membuatku besar kepala dan membuatku merasa di istimewakan oleh Len.
Tanpa sadar air mataku menetes perlahan, aku pun tertunduk agar Miku dan Len tidak melihatnya, namun terlambat,
“He-hei kau!?” seru Miku menyadari aku menangis, tapi sekilas bisa kulihat senyum licik di wajahnya.
“Kau benar, aku besar kepala dan mungkin memang cuma aku yang menyukainya…” ucapku lirih lalu langsung
lari menuruni tangga, menjauhi mereka semua,
“Hei Rin!” seru Len namun tidak kuhiraukan,
Aku terus berlari menuruni tangga dan bel pelajaran pun kuacuhkan. Rasa sakit di dada dan air mata yang terus mengalir ini membuat pikiranku kacau. Yang bisa kupikirkan sekarang adalah menjauh dari Len. Ternyata patah hati sesakit ini…
“Rin!” seru Len dan segera memeluk tubuhku dari belakang dan menghentikan langkahku,
“Kenapa nangis dan lari sih!?” ujarnya dengan suara pelan namun penuh penekanan tepat disamping telingaku, membuat sekujur tubuhku membeku,
“Karena… aku tahu kalau aku hanya bertepuk sebelah tangan, aku tahu hanya aku yang merasa senang dengan kebetulan ini…” kataku sambil menangis dan menutup wajahku dengan kedua telapak tangan,
“Siapa bilang hanya kau yang senang!” ucap Len tiba-tiba dan menarik wajahku ke arahnya lalu mencium bibirku lembut.
“L... Len…” gumamku sambil menyentuh bibirku dengan jari, aku bisa melihat wajah Len yang memerah dengan alisnya yang berkerut.
“Aku juga senang tahu! Kamu tidak tahu apa aku suka denganmu! Aku bahkan bela-belain telat masuk pelajaran demimu!” ucapnya sambil tertunduk, bisa kulihat kupingnya yang ikut memerah.
Sungguh aku tidak menyangka akan mendapat pernyataan cinta dari Len.
“Kau tau len, kalau kau berbohong aku akan menendangmu dari gedung berlantai 30!” seruku sambil memeluknya erat dan membenamkan wajahku di dadanya.
“Yang benar saja Rin, kalau aku benar, kau harus sangat menyayangiku!” ucapnya sambil membalas pelukanku.
***
Tidak kusangka, akan datang hari dimana aku bisa pulang berdua sepulang sekolah bersama Len Kagamine dan berpegangan tangan. Ini benar-benar membuatku sangat sangat sangat gugup. Okeh, itu lebay.
Tanpa terasa kami sudah berada di depan gerbang rumahku dan aku sebenenarnya enggan berpisah.
“Umm… Len, terima kasih?” ucapku dan aku merasa agak awkward,
“Sama-sama, Rin. Ngomong-ngomong kurasa kita harus merahasiakan hubungan ini. Yaa kau tau, aku tidak mau kejadian seperti tadi terjadi lagi,” ujarnya dan mengingatkanku pada kelakuan Miku tadi. Aku pun mengangguk dalam-dalam.
“Kalau begitu sudah yaa” ucap Len sambil mengusap kepalaku dan mendekatkan wajahnya padaku, whoaaa dia mau menciumku lagi!?
“Rin, kamu sudah pulang?” tiba-tiba Ibu membuka pintu rumah dan keluar bersama seorang pria di sampingnya. Aku kaget dan langsung menjauhkan wajahku dari Len.
“A-ayah!” seru Len tiba-tiba kepada pria di samping ibu, aku pun menatap pria itu.
“Hah? Lho? Kenapa ayah Len bisa disini?” tanyaku bingung,
Ibu menghela napas dan menatapku dalam-dalam, beliau membukakan gerbang rumah dan mempersilahkan aku dan Len masuk.
“Rin, perkenalkan. Ini orang yang mau Ibu kenalkan dari dulu, ini pacar Ibu dan kami akan segera menikah,” kata Ibu pelan,
“Halo Rin, kamu manis seperti di foto,” ujar Ayah Len dan menjabat tanganku, …Ayah Len? Pacaran? Akan segera menikah?
“Ayah apa maksudnya ini!” seru Len dan melepaskan jabatan antara aku dan Ayah nya.
“Ayah yang hendak bertanya apa maksudmu? Apakah kau pacaran dengan Rin?” tanya Ayah Len sambil menatap mata Len dalam-dalam, kemudian melanjutkan kalimatnya, “Kalian tahu, kami akan segera menikah dan kalian berdua tentu saja tidak boleh memiliki hubungan lain selain kakak-adik…”
“Tapi ayah! Aku dan Rin—”
“Len, kau tentu tahu, betapa ayah tersiksa setelah kematian Ibu 4 tahun yang lalu. Kini ayah telah menemukan wanita yang bisa memenuhi hati ayah, tidak bisakah kau mengalah dan menerimanya?” ujar Ayah Len dengan raut wajah yang sedih.
“Ck…” Len berdecak dan membuang muka.
Jadi… aku dan Len tidak bisa bersama? Tidak bisa lebih dari sekedar kakak-adik? Hanya sebagai saudara biasa?
Air mata sudah mulai membasahi mataku dan siap tumpah,
“Rin…” ujar Ibu dan menggenggam tanganku,
Aku tidak mau menerima ini… aku tidak mau berpisah dari Len… aku tidak mau tidak mau tidak mau!!
Tubuhku spontan berlari meninggalkan mereka semua. Aku tidak bisa menerima kenyataan ini! Baru saja aku akan menikmati hari-hariku bersama Len!
“RIN!!” kudengar Len meneriakkan namaku, namun sepertinya di tahan oleh ayahnya, mereka kemudian berdebat keras. Namun aku sudah tidak peduli lagi dan berlari ke tempat itu, tempat dimana aku bisa menenangkan hatiku.
***
Aku berbaring di atas rumput yang empuk ini sambil menatap langit malam berhiasi langit.
Ahh, sudah berapa lama aku disini? Berapa lama aku menangis hingga air mata dan tenggorokan ku terasa kering?
Tapi aku tidak peduli lagi, rasanya aku ingin tetap disini dan tidak mau menghadapi kenyataan…
“Rin!” seru seseorang dengan nafas terengah-engah, aku terbangun dan menatap ke orang yang menyerukan namaku itu.
“L-Len!” aku kaget dengan sosok Len yang berjalan ke arahku dengan keringat yang membanjiri seluruh tubuhnya, Ia duduk membelakangiku dan bersender di punggungku.
“Kau tahu… aku… mencarimu… sejak tadi…” ujarnya sambil terengah-engah dan menggenggam erat tanganku.
“A-aku minta maaf...” kataku pelan, lalu kami terdiam dan aku hanya bisa menatap kembali bintang-bintang di langit.
“Rin, aku tahu kenyataan itu sulit…” ucap Len tiba-tiba,
“Tapi kita harus bisa belajar menerimanya, kau tentu tidak mau kan orang tua kita menderita karena tidak bisa menikah?” tanya Len, nafasnya kini mulai teratur.
“Ya…” jawabku sekadarnya dan air mataku kembali mengalir,
“Saat ini kita belum dewasa dan tidak bisa melakukan apa-apa, tapi aku janji…” Len menghentikan kalimatnya dan merubah posisi duduknya disampingku, tangannya masih menggenggam erat jariku.
“Aku janji, suatu hari nanti aku pasti bisa menikahimu juga dan kita akan membentuk keluarga. Aku tidak tahu kapan, aku tidak tahu bagaimana. Aku hanya bisa memberikan janji sekedarnya padamu,” katanya sambil mengelus kepalaku lembut, aku terisak dan langsung memeluknya,
“Iya Len… iya…”
“Percayalah padaku, Rin…” ucapnya lembut dan membalas pelukanku lalu mencium keningku hangat.
“Riinn! Leeenn!” samar-samar terdengar suara Ibu dan Ayah Len dari kejauhan,
“Nah Rin, mungkin saat ini kita belum bisa bersama. Tapi ayo kita hadapi kenyataan berdua!” kata Len dan melepaskan pelukannya lalu berdiri,
“Tentu saja, Len!” jawabku dan menggenggam tangannya sambil berdiri dan melangkah ke arah orang tua kami.
Kami tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, dan kami akan menjadi apa. Namun aku sudah berjanji pada diriku sendiri, bahwa dewasa nanti akan melakukan sesuatu terhadap kenyataan ini. Karena aku sangat mencintai Len sepenuh hati.
[FIN]
Author : Hanna Fauzia [@HannaFauzia]
Genre : Romance/Drama
Rate : All Ages
Length : One Shot
Cast : Rin Kagamine, Len Kagamine, Hatsune Miku (VOCALOID)
Disclaimer : The character aren’t mine, all rights belong to CFM and Yamaha corporation. Still, this story pure made by my imagination.
(Rin’s Point of View)
Ada beberapa hal yang kusuka dalam hidupku. Pertama, Ibu yang telah membesarkanku seorang diri setelah ayah meninggal karena penyakit yang dideritanya. Kedua, rambut berwarna kuning keemasan yang terlihat indah tertimpa sinar matahari. Dan ketiga, kau tahu? Nama yang sama dengan orang yang kusukai!Well, I don't have anything I could ask anymore!
Untuk kalimatku yang terakhir, itu menyimpan sedikit kebohongan sih. Kenapa? Yaa kau akan tahu nanti.
***
Pagi hariku diawali dengan menyisir rambut kuning keemasanku di depan cermin setelah mandi, sembari tersenyum sedikit aku melihat bayanganku di cermin dan menatap dalam-dalam bola mata berwarna biru emerald milikku. Setelah puas memandangi diriku sendiri, aku pun keluar dari kamar mandi dan segera bersiap kesekolah.
“Rin, cepat sarapan!” terdengar suara Ibu berteriak dari lantai bawah, mendengar suara ibu yang penuh perhatian di pagi hari merupakan sesuatu yang menyegarkan bukan?”
“Iya buuu otw nihh” balasku sambil menyambar tas sekolah dan tidak lupa memakai bando dengan pita berwarna putih yang sudah menjadi trade mark ku.
Ibu menyiapkan sarapan bergizi seperti biasa, sup jagung, salad sayur dengan dressing susu dan segelas susu segar. Sepertinya Ibu bukan penganut aliran menjadikan roti sebagai sarapan, kecuali itu saat darurat, kuulangi, DARURAT. Misalnya aku menghancurkan dapurnya seperti yang kulakukan waktu itu… hehe jangan tanyakan detailnya karena kalian pasti akan menyesal setelah mengetahuinya.
“Rin, hari ini bisa pulang agak cepat?” tanya Ibu sambil menambahkan dressing ke atas saladnya.
“hah? Kenapa? Gak janji yaaa soalnya mau main duluuu biasalah anak gaul hehehee” kataku sambil cengengesan dan menghabiskan sarapanku secepatnya, maklum, dikejar waktu.
“ituu…” ibu mengehentikan kalimatnya sejenak,
“OHHHH pasti mau ngajak karaoke nih! Hahaha taudah ibu mah mau gak kalah gaul kaannn” sambarku seenaknya, duo ibu-anak ini emang hobi karaoke di sela-sela kesibukan kok!
“yeee itu mah lain kali, ini ada soal lainnn—”
“bu entar aja yaaak! Udah telat banget iniii byeee laf you deh buu!” seruku sambil meneguk habis susu segarku dan langsung bergegas keluar rumah, terlihat ibu yang melambaikan tangannya dan sepertinya merasa agak kesal karena kalimatnya terpotong.
***
Aku berlari sekuat tenaga menuju sekolah tepat setelah keluar dari kereta langgananku. Jarak antara stasiun dan sekolah sebenarnya 15 menit dengan jalan kaki, tapi dengan kekuatan lari seorang Rin Kagamine? Beehh 5 menit juga ayo ajaa!
Yapp benar saja, gerbang sekolah sudah di depan mataku sekarang. Tapi… okay, gerbang yang sebenarnya nyaris ditutup, dan seorang Rin Kagamine kini sedang menambah kecepatan berlarinya dan niat (nekad?) menyongsong gerbang tersebut. Hidup atau mati yang penting masuk dulu ke sekolah!
Dengan hitungan mundur aku melompat dan nyempil diantara gerbang dan dinding yang jaraknya kini tak lebih dari 30cm itu. Oh, kalian bisa memanggilku Ms. Slim, I don't mind. Tinggal selangkah lagi aku mampu mendarat ke halaman sekolah, tiba-tiba sebuah lengan mencengkramku dan menahan gerakanku disusul dengan bunyi bel sekolah dan bunyi seorang wanita yang terjatuh dengan tidak elegannya.
“Aduhh… yang ngeselin pasti kau kan—” keluhku sambil mengusap pantat ku yang mendarat terlebih dahulu ke tanah keras ini.
“Oii Len, pasti kau kan yang barusan ngebanting cewek cantik ini!?” teriakku sambil mengarahkan jari telunjukku ke arah hidung mancung milik seorang pemuda berwajah tampan dengan rambut kuning keemasan yang mirip dengan milikku.
“Whoaa, sebentar sebentar. Siapa yang kau sebut wanita cantik?” katanya sambil menurunkan jari telunjuk dan menatapku remeh. Dengan jelas aku bisa melihat tanpa pengenal yang tersemat di dadanya, ‘Ketua Komite Kedisiplinan’.
“Well, tentu saja itu sebutan yang pantas untuk seorang Rin Kagamine. Betul begitu ketua komite kedisiplinan, Mr. Len Kagamine?” balasku sambil berdiri dan menepuk seragamku yang penuh debu.
“Terserah kau, Rin. Aku akan dengan senang hati memberimu minus 5 atas aksi menorobos gerbangmu hari ini.” Katanya sambil mencatat sesuatu di kertas yang diletakkan di atas papan hitamnya. Biar kuperkenalkan laki-laki ngeselin didepan mataku ini, yap, dia lah Len Kagamine sang ketua komite kedisiplinan yang selalu mengganggu aksiku di pagi hari. Dan walaupun marga kami sama, bukan, kami bukan keluarga, suatu kebetulan bukan?
Bahkan paras kami cukup mirip. Dan ya, inilah laki-laki yang sangat kusukai saat ini.
“What the-- apanya menerobos gerbang! Kan masih kebuka dan aku bisa melewatinya!” protesku,
“Menerobos adalah menerobos, dan telat adalah telat. Betul begitu, Rin Kagamine-san?”
“Heiii enak aja! Pokoknya aku enggak menerobos dan enggak telat! Camkan itu Len Kagamine-san. Atau kau akan mendapatkan akibatnya di kelas nanti!”
“Whoaa, aku takut pikirmu? You know, I could do better. Terimalah nasibmu kali ini~”
“Tidak adalah tidak, Len Kagamine. Dan ya kau harus takut padaku!”
“Iya adalah iya, Rin Kagamine!”
“Tidak!”
“Iya!”
Dan perdebatan kami terus berlanjut hingga seorang guru menyadarkan kami bahwa kami hanya tinggal berdua dan kelas telah dimulai. Gawddd!
***
Saat ini, seorang Rin Kagamine berdiri bersampingan dengan laki-laki yang ia sukai, bukan karena aku menginginkannya sih. Tapi yaa, saat ini aku dan Len sedang menjalani hukuman berdiri di koridor karena telat masuk ke jam pertama.
“Ahh sial, kenapa seorang ketua komite sepertiku harus telat lagi karenamu! Kalau aku dipecat dari jabatanku, itu semua salahmu!” keluh Len dan mengarahkan telunjuknya ke arahku.
“Ohh iya iyaaa, terserah kamu dehh” jawabku sekadarnya. Sebenarnya aku cukup menikmati saat-saat berdua seperti ini, menikmati kesunyian ditengah koridor sekolah.
“Kenapa sih kayaknya kamu kayaknya nikmatin banget hukuman kayak gini? Mana hampir setiap hari lagi!” kata Len dan memasukkan tangannya ke dalam saku celana.
Mana mungkin aku jawab kalau aku melakukannya dengan sengaja? Masuk ke sekolah berpepetan dengan waktu masuk, menerobos gerbang, dan berdebat di depan gerbang sekolah itu semuanya supaya bisa berduaan seperti ini!
“…aku ingin bersamamu…” bisikku lirih tanpa sadar,
“hah? Bilang apa?” tanya Len dan membuatku sadar apa yang hampir saja aku katakan keras-keras.
“hah? Ohh aku bilang, ini semua kan karena kamu juga sering menghalangiku!” jawabku dengan angkuh, duhh kenapa aku gabisa jujur ya?
“Ohh, kukira kamu bilang ingin bersamaku hahahaha,” katanya sambil tertawa remeh,
“A-apaan sih nggak mungkin laahh!” bantahku, aku yakin saat ini mukaku bersemu merah.
“dan pelanggaran memang pelanggaran Rin Kagamine,” lanjutnya,
“Ooiii pasangan sejoli Kagamine! Betah amat sih berdiri di depan kelas, cepetan masuk udah jam ketiga nihh!” seru salah satu teman sekelasku yang menongolkan kepalanya dari balik pintu kelas. Kami pun terkaget dan berjalan memasuki kelas.
“Sayang ya, padahal aku masih mau bersama kamu lebih lama lho!” kata Len pelan sambil memunggungiku dengan tangannya yang menyilang dibelakang kepalanya. Aku merasa ada yang salah dari telingaku kali ini, benarkah tadi Len barusan mengatakan itu?
***
Wajahku masih terasa panas dan dadaku berdegup kencang sejak kalimat yang aku dengar sekilas dari Len tadi. Dia mungkin hanya bercanda sih, tapi tetap saja benar-benar berefek padaku.
Aku pun berjalan menyusuri koridor yang cukup ramai di jam istirahat ke arah kantin, cacing-cacing perutku telah berdemo untuk segera diberi asupan makanan. Tapi kau tahu? Aku kembali dari kantin tanpa membawa apapun. Sial, karena bengong dan mikirin Len mulu aku jadi terlambat dan kehabisan roti susu strawberry kesukaanku!
“Aaahhh kalau begini aku harusnya bawa bekaaal!” teriakku sambil mengacak-ngacak rambut, setelah itu menyesali perbuatanku yang mengakibatkan beberapa helai rambutku melawan gravitasi dan membuatku terlihat seperti orang yang tidak mandi.
“Gawd…” keluhku sambil merapihkan rambut dan menyempatkan sejenak berkaca di cermin yang terletak di samping tangga sekolah dan merapihkan rambutku dengan jari. Tangga sekolah bagian barat memang sepi karena cukup jauh dari ruang kelas, tapi aku lewat sini saja demi melupakan sejenak soal lapar dan Len— akh jadi ingat lagi kan!
“Kagamine-san? Bisa bicara sebentar?” kata orang dibelakangku, aku melihat pantulan tubuhnya dari cermin. Seorang gadis dengan tubuh cukup tinggi dan memiliki rambut panjang berwarna hijau toska.Hatsune Miku, cewek populer disini, pikirku.
“Ya? Hatsune-san?” jawabku sambil memutarkan badanku menghadap dirinya. Gadis dengan mata biru langit yang dihiasi dengan bulu mata lentik ini menatapku tajam. Kulihat dibelakangnya ada beberapa cewek lain yang tidak kukenal namanya, tapi yang aku tahu mereka adalah pengikut sang Hatsune Miku.
“Kau tahu, sepertinya kau agak terlalu dekat dengan Len?” ucapnya sambil memberi penekanan pada kata terlalu, whoa apa masalah cewek ini sampai jutek sekali denganku?
“Ah yaa, sepertinya begitu?” jawabku sekedarnya, haruskah aku takut pada cewek populer ini? Toh dia sama sekali bukan siapa-siapa, kecuali dia anak perdana menteri, mungkin aku takut.
“Sepertinya kau jadi besar kepala hanya karena nama keluargamu sama dengan Len ya!? Kau tidak tahu apa Len itu idola semua orang?” bentaknya padaku, membuatku tersentak sedikit. Tangan Hatsune terangkat keatas dan hendak menampar pipiku. Aku reflek menutup mukaku dengan telapak tangan.
Tapi sebelum aku sempat menepis tamparannya, sudah ada tangan lain yang menahan Miku. …Len?
“Len!” seru ku dan Miku bersamaan, kaget karena tiba-tiba Len muncul diantara kami dan menghentikan tamparan Miku yang mengarah kepadaku.
“Hei heei, apa yang mau kamu lakukan barusan itu Hatsune-san?” tanya Len sambil tertawa sedikit, dia pun melepas tangan Miku yang di tahannya tadi, walaupun sebenarnya Miku yang menarik paksa agar tangannya dilepas.
“A-apaan sih! Aku cuma mau memberi pelajaran sama cewek besar kepala ini hanya karena nama keluarganya sama denganmu! Memangnya segitu pentingnya kah karena kebetulan namanya sama!?” bentak Miku sambil melemparkan tatapan tajam ke arahku.
Aku hendak menjawab bentakannya itu, tentu saja ini penting! “Ten—”
“Penting mananya sih? Toh ini juga kebetulan kannn, jangan melebih-lebihkan!” Len memotong kalimatku, aku merasakan jantungku berhenti beberapa detik.
Iya juga ya, bagi Len pasti ini gak penting. Kebetulan kan? Ya, hanya kebetulan biasa. Miku benar, ini membuatku besar kepala dan membuatku merasa di istimewakan oleh Len.
Tanpa sadar air mataku menetes perlahan, aku pun tertunduk agar Miku dan Len tidak melihatnya, namun terlambat,
“He-hei kau!?” seru Miku menyadari aku menangis, tapi sekilas bisa kulihat senyum licik di wajahnya.
“Kau benar, aku besar kepala dan mungkin memang cuma aku yang menyukainya…” ucapku lirih lalu langsung
lari menuruni tangga, menjauhi mereka semua,
“Hei Rin!” seru Len namun tidak kuhiraukan,
Aku terus berlari menuruni tangga dan bel pelajaran pun kuacuhkan. Rasa sakit di dada dan air mata yang terus mengalir ini membuat pikiranku kacau. Yang bisa kupikirkan sekarang adalah menjauh dari Len. Ternyata patah hati sesakit ini…
“Rin!” seru Len dan segera memeluk tubuhku dari belakang dan menghentikan langkahku,
“Kenapa nangis dan lari sih!?” ujarnya dengan suara pelan namun penuh penekanan tepat disamping telingaku, membuat sekujur tubuhku membeku,
“Karena… aku tahu kalau aku hanya bertepuk sebelah tangan, aku tahu hanya aku yang merasa senang dengan kebetulan ini…” kataku sambil menangis dan menutup wajahku dengan kedua telapak tangan,
“Siapa bilang hanya kau yang senang!” ucap Len tiba-tiba dan menarik wajahku ke arahnya lalu mencium bibirku lembut.
“L... Len…” gumamku sambil menyentuh bibirku dengan jari, aku bisa melihat wajah Len yang memerah dengan alisnya yang berkerut.
“Aku juga senang tahu! Kamu tidak tahu apa aku suka denganmu! Aku bahkan bela-belain telat masuk pelajaran demimu!” ucapnya sambil tertunduk, bisa kulihat kupingnya yang ikut memerah.
Sungguh aku tidak menyangka akan mendapat pernyataan cinta dari Len.
“Kau tau len, kalau kau berbohong aku akan menendangmu dari gedung berlantai 30!” seruku sambil memeluknya erat dan membenamkan wajahku di dadanya.
“Yang benar saja Rin, kalau aku benar, kau harus sangat menyayangiku!” ucapnya sambil membalas pelukanku.
***
Tidak kusangka, akan datang hari dimana aku bisa pulang berdua sepulang sekolah bersama Len Kagamine dan berpegangan tangan. Ini benar-benar membuatku sangat sangat sangat gugup. Okeh, itu lebay.
Tanpa terasa kami sudah berada di depan gerbang rumahku dan aku sebenenarnya enggan berpisah.
“Umm… Len, terima kasih?” ucapku dan aku merasa agak awkward,
“Sama-sama, Rin. Ngomong-ngomong kurasa kita harus merahasiakan hubungan ini. Yaa kau tau, aku tidak mau kejadian seperti tadi terjadi lagi,” ujarnya dan mengingatkanku pada kelakuan Miku tadi. Aku pun mengangguk dalam-dalam.
“Kalau begitu sudah yaa” ucap Len sambil mengusap kepalaku dan mendekatkan wajahnya padaku, whoaaa dia mau menciumku lagi!?
“Rin, kamu sudah pulang?” tiba-tiba Ibu membuka pintu rumah dan keluar bersama seorang pria di sampingnya. Aku kaget dan langsung menjauhkan wajahku dari Len.
“A-ayah!” seru Len tiba-tiba kepada pria di samping ibu, aku pun menatap pria itu.
“Hah? Lho? Kenapa ayah Len bisa disini?” tanyaku bingung,
Ibu menghela napas dan menatapku dalam-dalam, beliau membukakan gerbang rumah dan mempersilahkan aku dan Len masuk.
“Rin, perkenalkan. Ini orang yang mau Ibu kenalkan dari dulu, ini pacar Ibu dan kami akan segera menikah,” kata Ibu pelan,
“Halo Rin, kamu manis seperti di foto,” ujar Ayah Len dan menjabat tanganku, …Ayah Len? Pacaran? Akan segera menikah?
“Ayah apa maksudnya ini!” seru Len dan melepaskan jabatan antara aku dan Ayah nya.
“Ayah yang hendak bertanya apa maksudmu? Apakah kau pacaran dengan Rin?” tanya Ayah Len sambil menatap mata Len dalam-dalam, kemudian melanjutkan kalimatnya, “Kalian tahu, kami akan segera menikah dan kalian berdua tentu saja tidak boleh memiliki hubungan lain selain kakak-adik…”
“Tapi ayah! Aku dan Rin—”
“Len, kau tentu tahu, betapa ayah tersiksa setelah kematian Ibu 4 tahun yang lalu. Kini ayah telah menemukan wanita yang bisa memenuhi hati ayah, tidak bisakah kau mengalah dan menerimanya?” ujar Ayah Len dengan raut wajah yang sedih.
“Ck…” Len berdecak dan membuang muka.
Jadi… aku dan Len tidak bisa bersama? Tidak bisa lebih dari sekedar kakak-adik? Hanya sebagai saudara biasa?
Air mata sudah mulai membasahi mataku dan siap tumpah,
“Rin…” ujar Ibu dan menggenggam tanganku,
Aku tidak mau menerima ini… aku tidak mau berpisah dari Len… aku tidak mau tidak mau tidak mau!!
Tubuhku spontan berlari meninggalkan mereka semua. Aku tidak bisa menerima kenyataan ini! Baru saja aku akan menikmati hari-hariku bersama Len!
“RIN!!” kudengar Len meneriakkan namaku, namun sepertinya di tahan oleh ayahnya, mereka kemudian berdebat keras. Namun aku sudah tidak peduli lagi dan berlari ke tempat itu, tempat dimana aku bisa menenangkan hatiku.
***
Aku berbaring di atas rumput yang empuk ini sambil menatap langit malam berhiasi langit.
Ahh, sudah berapa lama aku disini? Berapa lama aku menangis hingga air mata dan tenggorokan ku terasa kering?
Tapi aku tidak peduli lagi, rasanya aku ingin tetap disini dan tidak mau menghadapi kenyataan…
“Rin!” seru seseorang dengan nafas terengah-engah, aku terbangun dan menatap ke orang yang menyerukan namaku itu.
“L-Len!” aku kaget dengan sosok Len yang berjalan ke arahku dengan keringat yang membanjiri seluruh tubuhnya, Ia duduk membelakangiku dan bersender di punggungku.
“Kau tahu… aku… mencarimu… sejak tadi…” ujarnya sambil terengah-engah dan menggenggam erat tanganku.
“A-aku minta maaf...” kataku pelan, lalu kami terdiam dan aku hanya bisa menatap kembali bintang-bintang di langit.
“Rin, aku tahu kenyataan itu sulit…” ucap Len tiba-tiba,
“Tapi kita harus bisa belajar menerimanya, kau tentu tidak mau kan orang tua kita menderita karena tidak bisa menikah?” tanya Len, nafasnya kini mulai teratur.
“Ya…” jawabku sekadarnya dan air mataku kembali mengalir,
“Saat ini kita belum dewasa dan tidak bisa melakukan apa-apa, tapi aku janji…” Len menghentikan kalimatnya dan merubah posisi duduknya disampingku, tangannya masih menggenggam erat jariku.
“Aku janji, suatu hari nanti aku pasti bisa menikahimu juga dan kita akan membentuk keluarga. Aku tidak tahu kapan, aku tidak tahu bagaimana. Aku hanya bisa memberikan janji sekedarnya padamu,” katanya sambil mengelus kepalaku lembut, aku terisak dan langsung memeluknya,
“Iya Len… iya…”
“Percayalah padaku, Rin…” ucapnya lembut dan membalas pelukanku lalu mencium keningku hangat.
“Riinn! Leeenn!” samar-samar terdengar suara Ibu dan Ayah Len dari kejauhan,
“Nah Rin, mungkin saat ini kita belum bisa bersama. Tapi ayo kita hadapi kenyataan berdua!” kata Len dan melepaskan pelukannya lalu berdiri,
“Tentu saja, Len!” jawabku dan menggenggam tangannya sambil berdiri dan melangkah ke arah orang tua kami.
Kami tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, dan kami akan menjadi apa. Namun aku sudah berjanji pada diriku sendiri, bahwa dewasa nanti akan melakukan sesuatu terhadap kenyataan ini. Karena aku sangat mencintai Len sepenuh hati.
[FIN]