Kebahagiaan Lain
Title : Kebahagiaan Lain
Author : Aulia Rahmawati
Genre : Romance, Drama
Rate : All Ages
Length : One Shot
Cast : Daisy, Wakaouji Takafumi, Hikami Itaru (Tokimeki Memorial Girl’s Side: 2nd Season)
Disclaimer : Tokimeki Memorial Girl’s Side©Konami
***
Wakaouji Takafumi, seorang guru muda dengan IQ mencapai 200, tidak dapat memecahkan soal kimia sederhana di hadapannya. Tangannya bergerak cepat mengisi papan tulis yang penuh rumus itu, dan sedetik kemudian kembali menghapus jawabannya. Tidak, tidak, ini salah. Apa yang ia tulis hanya memperumit soal sederhana itu. Ia menghela napas, menyadari dirinya bukanlah mencari jawaban dari soal ini.
Tidak. Ia hanya mencoba mengalihkan pikirannya dari suatu hal, dari seseorang.
Wakaouji bukanlah orang yang antisosial, ia hanya sedikit apatis dengan kehidupan yang dimilikinya. Menurutnya, kehidupannya yang sekarang ia jalani hanyalah untuk mengajar dan merawat kucing-kucingnya. Hal itu cukup membuatnya terus melangkah, dan merasakan kebahagiaan dari sudut pandangnya. Namun tiba-tiba orang ini, siswi ini, datang dan membuatnya bingung.
Ia membuat garis “x” besar pada papan tulis itu—frustrasi.
***
Aku harap tahun-tahunku di SMA ini penuh dengan kenangan bahagia.
Ya, itulah yang pasti diharapkan semua siswa baru. Ah, suasana yang tak dikenali, seragam yang masih bersih, wajah siswa-siswi yang asing. Tiga tahun akan kujalani di SMA Hanegasaki ini. Penuh dengan kenangan? Semoga saja.
Aku melangkahkan kakiku menuju kelas, terlihat anak-anak lain sudah ramai memenuhi kursi. Oke, jangannervous. Ini hari pertama masuk kelas. Aku adalah anak pindahan, jadi belum kenal siapa-siapa. Tunggu dulu, bukankah itu siswa yang tadi pagi naik sepeda dengan helm? Siapa namanya? Hikami? Tentu saja aku tak akan melupakan helm legendaris yang digunakannya.
“Hikami-kun!” aku menghampiri tempat duduk satu-satunya siswa yang kukenal di kelas ini.
Hikami mengalihkan matanya dari buku yang ia baca, “Ah, Daisy-san, bukan? Ternyata kita sekelas.”
‘Istilah-Istilah Biologi SMA’? Oh, baru hari pertama dan dia sudah belajar? Syukurlah aku sekelas dengannya, dia terlihat pintar dan baik. Setidaknya aku bisa memintanya untuk mengajariku. Aku sangat lemah di Biologi.
“Um…” aku melirik bangku kosong di sampingnya, “bangku sebelahmu kosong tidak?”
“Ya, cepat duduklah. Kelas sebentar lagi dimulai,” ucapnya tegas.
Hikami pasti orang yang sangat disiplin. Lihatlah, ia merapikan buku-buku di atas mejanya secara berurut lalu memasukkannya ke dalam loker meja. Tengoklah bagaimana ia menyusun alat-alat tulis di atas mejanya! Aku, yang duduk di kursi sebelahnya, hanya tertegun dan mengeluarkan kotak pensilku. Aku dan Hikami duduk di deretan paling depan, deretan anak pintar. Tak pernah sekali pun aku menganggap diriku pintar, tapi jujur memang nilaiku selalu di atas standar. Kecuali untuk biologi.
“Sensei datang!” satu anak berteriak dari luar, lalu masuk dan duduk di kursinya. Anak-anak lain yang masih berdiri mengikutinya dengan buru-buru.
Kelas pertama adalah penyuluhan dari wali kelas. Kira-kira orang seperti apa wali kelasku untuk tahun ini? Semoga saja ia baik dan tidak sombong, juga rajin menabung. Semoga saja ia muda dan tampan. Aku terlalu banyak menonton dorama rupanya. Ia niat mengajar saja sudah cukup buatku.
Ah, orangnya datang!
“Senang berkenalan dengan kalian semua,” ucapnya sambil merapikan kumpulan kertas di tangan. “Nama saya Wakaouji Takafumi.”
Aku tak menyangka. Kenapa harapan asal yang kubuat mengenai wali kelas itu terkabul? Muda dan tampan—wajahnya terlihat agak barat, sungguh klise! Aura bahagia dari siswi-siswi yang terpesona pun terasa sampai punggungku. Aku mengerutkan kening. Sungguh, yang aku inginkan hanyalah belajar dengan tekun. Semoga saja ia bukan tipe yang meladeni siswi-siswi itu. Semoga saja.
“Saya mengajar Kimia. Semoga kita bisa menjalani tahun ini dengan baik,” lanjut Wakaouji-sensei.
Sungguh dunia ini dipenuhi kebetulan yang tak terduga! Kimia adalah pelajaran favoritku.
Tapi tunggu, tunggu dulu. Aku merasakan aura hebat dari sampingku, mengalahkan aura siswi-siswi di belakang. Hikami, ia terlihat berapi-api, matanya bersinar penuh kegembiraan. Apa gerangan yang terjadi dengannya?
“Hikami-kun?” aku memanggilnya pelan. “Kamu terlihat sangat bahagia.”
“Tentu saja! Wali kelas kita Wakaoji-sensei. Kudengar beliau adalah mantan peneliti jenius. Aku akan dengan mudah mendapatkan semua ilmu-ilmunya!” ucap pemuda berkacamata itu dengan semangat. Aku hanya meng-“ooh”-kan.
Begitukah? Muda dan jenius, guru yang satu ini penuh dengan kejutan.
Setelah beberapa saat menjawab berbagai pertanyaan asal-asalan dari siswa-siswi (terutama siswi), Wakaouji-sensei pamit, “tidak ada yang mau ditanyakan lagi? Kalau begitu silahkan isi kuesioner yang sudah dibagikan.” Lalu ia berjalan ke luar. Ada yang janggal dari ucapannya. Kuesioner? Kuesioner apa?
Sedetik kemudian Wakaouji-sensei kembali masuk ke dalam kelas, ia tersenyum malu.
“Maaf, Sensei lupa membagikan kuesionernya,” ucapnya sambil membagikan kumpulan kertas yang dari tadi ia pegang.
Aku menahan tawa. Guru yang satu ini memang penuh dengan kejutan
***
Aku membereskan peralatan-peralatan lab kimia, bel pulang sudah berbunyi. Ini salah satu hari burukku. Mataku terasa sangat berat, begadang semalaman untuk belajar ternyata berdampak seratus delapan puluh derajat berbalik dari dugaanku. Tertidur saat jam pelajaran tentu bukan ide bagus bagi anak baru sepertiku, bukan? Tidurku terpotong oleh pertanyaan Wakaouji-sensei—yang pastinya ditujukan untukku. Aku yang panik tentu saja tak berhasil menjawab pertanyaan Sensei. Deoksiribaucelele apa katanya? Entah, yang penting sekarang aku berjanji tidak akan begadang lagi. Tapi lihatlah wajahnya saat aku tak bisa menjawab, tersenyum seperti anak kecil yang berhasil mengalahkan temannya. Guru yang aneh.
Tabung reaksi, pipet, gelas ukur, semua kumasukkan ke dalam kotak-kotak peralatan. Aku tinggal meletakkan kotak-kotak ini ke dalam lemari. Hah, lemarinya tinggi sekali! Aku berjinjit. Sedikit lagi, sedikit lagi…
Aku kehilangan keseimbangan.
“Hati-hati!”
BRUK!
Apa yang terjadi? Sepertinya aku jatuh menimpa seseorang. Tapi perhatianku tertuju pada bibirku, yang sepertinya menyentuh sesuatu. Oh, tidak…
Aku menarik diri. Kulihat wajah Wakaouji-sensei berada tepat di hadapanku, ekspresinya panik. Langsung kututupi bibirku dengan kedua tangan. Oh, tidak…
“Ah, Daisy-san,” ujar Sensei memecahkan keheningan yang kikuk, kepanikan masih menyelimutinya. “Kau baik-baik saja?”
Tanganku masih menutupi bibir, pipiku merona.
“Tidak ada yang sakit kan? Selain bibirmu tentu saja.”
Aku terbelalak, “Sensei!”
“Hanya bercanda. Pulanglah, biar Sensei yang membereskan sisanya.”
Dengan anggukan pelan, aku bangkit dan meninggalkan ruang lab.
Jantungku masih berdegup kencang. Kejadian tadi, nyatakah? Apa aku benar-benar secara tidak sengaja…mencium bibirnya?
***
Kupikir dengan belanja maka pikiranku akan teralih. Tidak, sama sekali tidak efektif. Aku berjalan semakin cepat, kususuri atrium mall dengan pikiran yang melayang. Kejadian kemarin. Adegan itu terus terulang-ulang di otakku bagai potongan film. Daisy, Daisy, tolong, itu hanya kecelakaan belaka. Aku ingin berteriak sekencang-kencangnya, ah, biarkan aku kabur sejenak dari dunia ini!
BRUK!
Aku tersentak, sadar dari lamunanku. Kuangkat wajahku, sepertinya aku menabrak punggung seseorang. Daisy, inilah akibatnya jika kau melamun sambil berjalan.
“Ma-maaf!” ujarku malu.
Orang di hadapanku membalikkan badan. Sensei. Perasaan nostalgia seakan menampar wajahku. Lucu sekali, Daisy, kau menabrak lagi seseorang yang sejak kemarin mengusik jalan pikiranmu. Ia terlihat sangat terkejut, beberapa barang yang ia bawa jatuh dan menggelinding ke kakiku. Oh, makanan kucing?
“Daisy-san?” ujarnya bingung sambil memunguti barang-barangnya. Aku turut berjongkok untuk membantunya.
Sembari memunguti barang-barangnya, aku memperhatikan tampilannya secara lebih cermat. Jas lab yang biasa ia gunakan tergantikan oleh kemeja kasual, hal itu membuatku terpana. Sensei benar-benar tak terlihat seperti guru. Ia terlihat seperti anak kuliahan yang tampan. Pipiku panas. Eh, maksudku, hanyasedikit tampan!
“Kamu ini benar-benar ceroboh ya,” ia tersenyum, “seperti anak kucing!”
Anak kucing? Ia mengejekku atau bagaimana? Aku tidak tahu harus menjawab apa.
“Saya punya banyak kucing,” Sensei menambahkan. “Bahkan Cherryblossom-ricecake sebentar lagi akan melahirkan.”
Aku mengerutkan alis, “Ricecake? Melahirkan?”
“Iya—oh… tidak…” raut wajah Wakaouji-sensei berubah seakan diterjang malapetaka. “Sensei benar-benar lupa!”
“Ah, Sensei, tunggu!” panggilku saat tiba-tiba ia berlari menjauh. Aku tentu saja tak bisa tinggal diam. Lihat bawaanku, penuh dengan aneka produk perawatan kucing miliknya! Secara spontan aku berlari mengejar Sensei yang semakin jauh dari mata.
Aku tiba di sebuah komplek apartemen. Lari ke mana dia? Mataku menangkap sosok Sensei yang berbelok ke balik salah satu apartemen. Aku mengikutinya masuk ke celah semak-semak di belakang apartemen itu. Dia mau apa di sini?
Lalu aku dikejutkan oleh suara meongan kucing.
Kuhampiri Sensei yang sedang berjongkok, di hadapannya terdapat seekor kucing yang sedang menyusui lima anak kucingnya—semuanya terlihat baru saja lahir. Aku ikut berjongkok di sebelahnya. Wakaouji-sensei menoleh ke arahku, lalu tersenyum manis. Ternyata yang bernama ‘Cherryblossom-ricecake’ itu adalah kucing ini, Sensei sungguh punya selera nama yang unik.
Aku tertegun saat menatap senyum tulusnya. Ah, aku telah melihat sisi lain dari Sensei yang selama ini begitu easy going. Kami berdua terperangkap dalam diam, menikmati suasana sore yang damai.
“…Kamu tidak akan memulai pembicaraan tentang kejadian kemarin, kan?” ujar Sensei pelan, memecah keheningan.
Eh? Kejadian kemarin? Kutatap wajah pencinta kucing itu, sebersit rona merah mewarnai pipinya. Tanpa sadar jemariku meraba bibir yang sejak tadi terkatup, teringat akan kejadian mengejutkan itu. Pipiku ikut merona.
“Bu-bukan berarti aku tidak suka atau semacamnya, tapi… umm, jangan dengarkan Sensei yang bergumam tidak jelas ini,” lanjutnya sambil mengibaskan tangan.
Sensei! Selalu saja berkata sesuatu yang membuat jantungku jungkir balik!
***
Aku mengibaskan daun yang jatuh mengenai bahuku. Kulihat matahari sudah hampir mengenai garis horizon, hanya terlihat satu-dua murid di sekitar lapangan sekolah ini. Hari yang melelahkan. Sungguh, akhir-akhir ini aku merasa sangat letih. Apa aku terlalu memaksakan diri? Mungkin saja. Belajar sampai larut malam, mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, dan tanggung jawab lainnya. Mau bagaimana lagi? Aku sangat antusias untuk mengejar ranking pertama.
Angin dingin tiba-tiba menerpa punggungku, aku menggigil, tanganku terasa kehilangan kekuatannya. Lelah, lelah sekali. Beberapa buku meluncur jatuh dari tanganku. Aku menggerutu pelan. Kupunguti buku-buku sial itu, perhatianku tertuju pada bungkusan makanan kucing yang terselip di sela-selanya. Oh, ya, aku hampir lupa yang satu ini.
Semenjak melihat Cherryblossom-ricecake melahirkan beberapa bulan lalu, aku merasa punya tanggung jawab pula terhadap anak-anak kucingnya. Setiap pulang sekolah aku selalu menyempatkan diri untuk memberi makan mereka. Tentu saja aku tak bisa meninggalkan tanggung jawab ini pada Sensei! Dia saja tidak tahu cara menggendong kucing yang benar. Betapa aku bisa kena serangan jantung saat Wakaouji-sensei hampir menjatuhkan anak kucing yang baru lahir itu!
Namun anak-anak kucing itu membuatku dekat dengan Sensei. Tak jarang kami pulang bersama untuk mengurus mereka (Sensei memeliharanya secara diam-diam—apartemen yang ia tinggali tidak memperbolehkan peliharaan). Fried-pork, Beef-curry, Tempura, Yakiniku, dan Tuna-roll. Ya, itu nama-nama mereka, kau pasti tahu siapa yang menamainya.
Hari ini aku pulang terlalu sore, tentu saja aku tidak akan sempat untuk menjenguk kucing-kucing itu. Lagipula, Sensei pasti sudah pulang.
Aku melanjutkan perjalanan pulangku. Tiba-tiba ada yang memanggil. Aku menoleh, Hikami. Pemuda berkacamata itu menawarkan untuk pulang bersama—menurutnya tidak aman bagiku untuk pulang sendiri selarut ini. Aku menerima tawarannya. Kenapa tidak? Lebih baik membonceng sepeda Hikami daripada jalan kaki, bukan?
“Apa kamu sudah mengerjakan tugas kimia yang untuk besok?” tanya Hikami saat kami hampir sampai di gerbang sekolah. Tugas? Tugas apa? Aku mencoba untuk mengingat-ingat. Seketika diriku tersadar. Pantas saja aku lupa, sepertinya aku meninggalkan kertas tugas itu di laci meja kelas. Panik menyelimutiku.
“Hikami-kun, aku meninggalkan kertasnya di laci mejaku!” ucapku seraya berlari kembali ke sekolah.
Aku berlari menyusuri koridor, pintu kelasku sudah di depan mata. Namun aku terdiam saat mendapati pintu kelas itu terbuka. Ada seseorang di dalam. Sensei, belum pulang ternyata. Ia sedang menulis apa di papan tulis? Oh… aku tertegun saat mendapati keadaan papan tulis yang penuh dengan rumus-rumus kimia. Aku tahu dia bisa mengerjakan berbagai soal kimia dengan mata tertutup, tapi mengapa di sini Sensei terlihat begitu putus asa?
Tiba-tiba Wakaouji-sensei mencoreti papan tulis itu dengan tanda silang yang besar. Aku belum pernah melihatnya seperti ini.
“Daisy-san!” sebuah sahutan dari arah koridor membuyarkan diriku.
Wakaouji-sensei mematahkan ujung kapur tulisnya.
Aku membalikkan badan. Orang yang menyahutiku, Hikami, berjalan cepat menujuku.
“Bagaimana? Apa kamu sudah menemukan kertas tugasnya?”
Aku mengerjapkan mata, kulihat wajah Sensei yang nampak panik. Aku pun menjawab terbata, “Be-belum…”
“Kalau begitu, sini biar aku turut mencari,” ujarnya. Ia menengok ke dalam kelas, “Oh, ada Wakaouji-sensei rupanya.”
Hikami-kun, kau datang sungguh di saat yang tidak tepat. Secara spontan aku berusaha mencegatnya, “Tidak, tidak usah. Sepertinya aku tidak jadi pulang bersamamu, Hikami-kun. Aku ada sedikit urusan dengan Wakaouji-sensei, kebetulan sekali Sensei masih di sekolah.”
Setelah meyakinkannya untuk tidak mengkhawatirkanku (ia benar-benar calon ketua OSIS idaman), akhirnya Hikami pulang duluan. Sekarang hanya tinggal aku dan Sensei. Kesunyian kikuk yang familiar ini menyelimuti kami berdua. Aku memandang Sensei, wajahnya dipenuhi ekspresi yang tak dapat kubaca.
“Seharusnya kamu pulang saja dengan Hikami-san,” seperti biasa, Sensei duluan lah yang memecahkan keheningan ini. Ia memalingkan muka, dengan pelan ia menambahkan, “Sensei tidak cemburu kok.”
“Hah?”
Raut wajah Wakaouji-sensei kembali panik, namun semburat merah juga turut mewarnainya. “Bukan, maksud Sensei… ah…” ia menghela napas. Ekspresi matanya seolah mengisyaratkan tanda menyerah.
Wakaouji-sensei bersikap tidak seperti biasanya, aku khawatir. “Sensei kenapa?” tanyaku.
Ia hanya menatapku lekat-lekat. Jantungku berdetak kencang ketika melihat senyuman khas terlukis di bibirnya. Sungguh, aku bingung dengan diriku akhir-akhir ini. Melihat senyuman Sensei saja, sudah cukup membuat jantungku berpacu. Setelah beberapa saat akhirnya ia membuka mulut.
“Tidak, Sensei tidak kenapa-napa. Sensei hanya bingung mengapa murid Sensei yang satu ini begitu memenuhi pikiran Sensei.”
“Siapa, Sensei?” tanyaku penasaran.
Bukannya menjawab, Wakaouji-sensei justru balik bertanya, “Apa kamu merasa bahagia selama bersama Sensei, Daisy-san?”
Aku merasa wajahku yang merona merah dapat menjawab pertanyaan itu. Namun dengan pelan aku mengangguk juga.
“Syukurlah, Sensei juga merasakan hal yang sama.”
Hening kembali menyapa kami. Nuansa oranye menerangi kelas ini seraya jendela-jendela menampakkan matahari yang terbenam.
“Daisy-san? Apa boleh Sensei memohon suatu hal?”
Aku mengangguk.
“…Selama ini yang membuat Sensei bahagia hanyalah mengajar dan memelihara kucing. Sensei merasa cukup, tidak pernah terbesit sedikit pun kebahagiaan yang melebihi itu. Tapi—” ia memalingkan muka ke arah jendela, menikmati pemandangan indah dari kelas di lantai dua ini.
“Semenjak Sensei bertemu denganmu, kehidupanku yang selama ini begitu hitam-putih kembali berwarna. Kamu datang dengan segala hal yang tak terduga. Mulai dari kejadian di lab itu… sampai kesediaanmu merawat anak-anak Cherryblossom-ricecake. Dari itu Sensei sadar, kamu memberiku kebahagiaan lain yang selama ini belum pernah Sensei rasakan.”
Wakaouji-sensei kembali menatapku, “Daisy-san, mungkin ini terdengar egois, namun Sensei tidak mau kebahagiaan itu berakhir. Sensei--aku tidak mau kehilanganmu. Jadi, kumohon, jangan pernah pergi dariku.”
“Sensei—“
“Shhh…” Sensei menaruh jarinya di bibirku, “jangan kamu jawab dulu. Aku ingin kamu mendengar permasalahannya. Perbedaan umur kita memang tidak sejauh guru-guru lain. Namun ingatlah, aku masih gurumu. Jadi mungkin aku tidak bisa memberimu kebahagiaan yang setara dengan anak-anak sepantaranmu.”
“Dengan mengetahui itu, apa kamu masih mau mengabulkan permohonanku?”
Apa permasalahan seperti itu akan membuatku menjauh dari Sensei? Kau sudah tahu jawabannya. Aku pun merasakan kebahagiaan yang sama seperti apa yang ia rasakan, dan aku juga tidak mau mengakhirinya.
Aku menjawab pertanyaan Sensei dengan mencium pipinya.
“Daisy-san!” tegurnya sambil memegangi pipinya yang merona. “Kita masih ada di lingkungan sekolah, hal seperti ini bisa membuatku kena masalah…”
Melihat Sensei yang mencibirkan mulutnya, aku tertawa kecil. Sepertinya julukan ‘anak kucing’ jauh lebih cocok untuk dirinya sendiri!
SELESAI
Author : Aulia Rahmawati
Genre : Romance, Drama
Rate : All Ages
Length : One Shot
Cast : Daisy, Wakaouji Takafumi, Hikami Itaru (Tokimeki Memorial Girl’s Side: 2nd Season)
Disclaimer : Tokimeki Memorial Girl’s Side©Konami
***
Wakaouji Takafumi, seorang guru muda dengan IQ mencapai 200, tidak dapat memecahkan soal kimia sederhana di hadapannya. Tangannya bergerak cepat mengisi papan tulis yang penuh rumus itu, dan sedetik kemudian kembali menghapus jawabannya. Tidak, tidak, ini salah. Apa yang ia tulis hanya memperumit soal sederhana itu. Ia menghela napas, menyadari dirinya bukanlah mencari jawaban dari soal ini.
Tidak. Ia hanya mencoba mengalihkan pikirannya dari suatu hal, dari seseorang.
Wakaouji bukanlah orang yang antisosial, ia hanya sedikit apatis dengan kehidupan yang dimilikinya. Menurutnya, kehidupannya yang sekarang ia jalani hanyalah untuk mengajar dan merawat kucing-kucingnya. Hal itu cukup membuatnya terus melangkah, dan merasakan kebahagiaan dari sudut pandangnya. Namun tiba-tiba orang ini, siswi ini, datang dan membuatnya bingung.
Ia membuat garis “x” besar pada papan tulis itu—frustrasi.
***
Aku harap tahun-tahunku di SMA ini penuh dengan kenangan bahagia.
Ya, itulah yang pasti diharapkan semua siswa baru. Ah, suasana yang tak dikenali, seragam yang masih bersih, wajah siswa-siswi yang asing. Tiga tahun akan kujalani di SMA Hanegasaki ini. Penuh dengan kenangan? Semoga saja.
Aku melangkahkan kakiku menuju kelas, terlihat anak-anak lain sudah ramai memenuhi kursi. Oke, jangannervous. Ini hari pertama masuk kelas. Aku adalah anak pindahan, jadi belum kenal siapa-siapa. Tunggu dulu, bukankah itu siswa yang tadi pagi naik sepeda dengan helm? Siapa namanya? Hikami? Tentu saja aku tak akan melupakan helm legendaris yang digunakannya.
“Hikami-kun!” aku menghampiri tempat duduk satu-satunya siswa yang kukenal di kelas ini.
Hikami mengalihkan matanya dari buku yang ia baca, “Ah, Daisy-san, bukan? Ternyata kita sekelas.”
‘Istilah-Istilah Biologi SMA’? Oh, baru hari pertama dan dia sudah belajar? Syukurlah aku sekelas dengannya, dia terlihat pintar dan baik. Setidaknya aku bisa memintanya untuk mengajariku. Aku sangat lemah di Biologi.
“Um…” aku melirik bangku kosong di sampingnya, “bangku sebelahmu kosong tidak?”
“Ya, cepat duduklah. Kelas sebentar lagi dimulai,” ucapnya tegas.
Hikami pasti orang yang sangat disiplin. Lihatlah, ia merapikan buku-buku di atas mejanya secara berurut lalu memasukkannya ke dalam loker meja. Tengoklah bagaimana ia menyusun alat-alat tulis di atas mejanya! Aku, yang duduk di kursi sebelahnya, hanya tertegun dan mengeluarkan kotak pensilku. Aku dan Hikami duduk di deretan paling depan, deretan anak pintar. Tak pernah sekali pun aku menganggap diriku pintar, tapi jujur memang nilaiku selalu di atas standar. Kecuali untuk biologi.
“Sensei datang!” satu anak berteriak dari luar, lalu masuk dan duduk di kursinya. Anak-anak lain yang masih berdiri mengikutinya dengan buru-buru.
Kelas pertama adalah penyuluhan dari wali kelas. Kira-kira orang seperti apa wali kelasku untuk tahun ini? Semoga saja ia baik dan tidak sombong, juga rajin menabung. Semoga saja ia muda dan tampan. Aku terlalu banyak menonton dorama rupanya. Ia niat mengajar saja sudah cukup buatku.
Ah, orangnya datang!
“Senang berkenalan dengan kalian semua,” ucapnya sambil merapikan kumpulan kertas di tangan. “Nama saya Wakaouji Takafumi.”
Aku tak menyangka. Kenapa harapan asal yang kubuat mengenai wali kelas itu terkabul? Muda dan tampan—wajahnya terlihat agak barat, sungguh klise! Aura bahagia dari siswi-siswi yang terpesona pun terasa sampai punggungku. Aku mengerutkan kening. Sungguh, yang aku inginkan hanyalah belajar dengan tekun. Semoga saja ia bukan tipe yang meladeni siswi-siswi itu. Semoga saja.
“Saya mengajar Kimia. Semoga kita bisa menjalani tahun ini dengan baik,” lanjut Wakaouji-sensei.
Sungguh dunia ini dipenuhi kebetulan yang tak terduga! Kimia adalah pelajaran favoritku.
Tapi tunggu, tunggu dulu. Aku merasakan aura hebat dari sampingku, mengalahkan aura siswi-siswi di belakang. Hikami, ia terlihat berapi-api, matanya bersinar penuh kegembiraan. Apa gerangan yang terjadi dengannya?
“Hikami-kun?” aku memanggilnya pelan. “Kamu terlihat sangat bahagia.”
“Tentu saja! Wali kelas kita Wakaoji-sensei. Kudengar beliau adalah mantan peneliti jenius. Aku akan dengan mudah mendapatkan semua ilmu-ilmunya!” ucap pemuda berkacamata itu dengan semangat. Aku hanya meng-“ooh”-kan.
Begitukah? Muda dan jenius, guru yang satu ini penuh dengan kejutan.
Setelah beberapa saat menjawab berbagai pertanyaan asal-asalan dari siswa-siswi (terutama siswi), Wakaouji-sensei pamit, “tidak ada yang mau ditanyakan lagi? Kalau begitu silahkan isi kuesioner yang sudah dibagikan.” Lalu ia berjalan ke luar. Ada yang janggal dari ucapannya. Kuesioner? Kuesioner apa?
Sedetik kemudian Wakaouji-sensei kembali masuk ke dalam kelas, ia tersenyum malu.
“Maaf, Sensei lupa membagikan kuesionernya,” ucapnya sambil membagikan kumpulan kertas yang dari tadi ia pegang.
Aku menahan tawa. Guru yang satu ini memang penuh dengan kejutan
***
Aku membereskan peralatan-peralatan lab kimia, bel pulang sudah berbunyi. Ini salah satu hari burukku. Mataku terasa sangat berat, begadang semalaman untuk belajar ternyata berdampak seratus delapan puluh derajat berbalik dari dugaanku. Tertidur saat jam pelajaran tentu bukan ide bagus bagi anak baru sepertiku, bukan? Tidurku terpotong oleh pertanyaan Wakaouji-sensei—yang pastinya ditujukan untukku. Aku yang panik tentu saja tak berhasil menjawab pertanyaan Sensei. Deoksiribaucelele apa katanya? Entah, yang penting sekarang aku berjanji tidak akan begadang lagi. Tapi lihatlah wajahnya saat aku tak bisa menjawab, tersenyum seperti anak kecil yang berhasil mengalahkan temannya. Guru yang aneh.
Tabung reaksi, pipet, gelas ukur, semua kumasukkan ke dalam kotak-kotak peralatan. Aku tinggal meletakkan kotak-kotak ini ke dalam lemari. Hah, lemarinya tinggi sekali! Aku berjinjit. Sedikit lagi, sedikit lagi…
Aku kehilangan keseimbangan.
“Hati-hati!”
BRUK!
Apa yang terjadi? Sepertinya aku jatuh menimpa seseorang. Tapi perhatianku tertuju pada bibirku, yang sepertinya menyentuh sesuatu. Oh, tidak…
Aku menarik diri. Kulihat wajah Wakaouji-sensei berada tepat di hadapanku, ekspresinya panik. Langsung kututupi bibirku dengan kedua tangan. Oh, tidak…
“Ah, Daisy-san,” ujar Sensei memecahkan keheningan yang kikuk, kepanikan masih menyelimutinya. “Kau baik-baik saja?”
Tanganku masih menutupi bibir, pipiku merona.
“Tidak ada yang sakit kan? Selain bibirmu tentu saja.”
Aku terbelalak, “Sensei!”
“Hanya bercanda. Pulanglah, biar Sensei yang membereskan sisanya.”
Dengan anggukan pelan, aku bangkit dan meninggalkan ruang lab.
Jantungku masih berdegup kencang. Kejadian tadi, nyatakah? Apa aku benar-benar secara tidak sengaja…mencium bibirnya?
***
Kupikir dengan belanja maka pikiranku akan teralih. Tidak, sama sekali tidak efektif. Aku berjalan semakin cepat, kususuri atrium mall dengan pikiran yang melayang. Kejadian kemarin. Adegan itu terus terulang-ulang di otakku bagai potongan film. Daisy, Daisy, tolong, itu hanya kecelakaan belaka. Aku ingin berteriak sekencang-kencangnya, ah, biarkan aku kabur sejenak dari dunia ini!
BRUK!
Aku tersentak, sadar dari lamunanku. Kuangkat wajahku, sepertinya aku menabrak punggung seseorang. Daisy, inilah akibatnya jika kau melamun sambil berjalan.
“Ma-maaf!” ujarku malu.
Orang di hadapanku membalikkan badan. Sensei. Perasaan nostalgia seakan menampar wajahku. Lucu sekali, Daisy, kau menabrak lagi seseorang yang sejak kemarin mengusik jalan pikiranmu. Ia terlihat sangat terkejut, beberapa barang yang ia bawa jatuh dan menggelinding ke kakiku. Oh, makanan kucing?
“Daisy-san?” ujarnya bingung sambil memunguti barang-barangnya. Aku turut berjongkok untuk membantunya.
Sembari memunguti barang-barangnya, aku memperhatikan tampilannya secara lebih cermat. Jas lab yang biasa ia gunakan tergantikan oleh kemeja kasual, hal itu membuatku terpana. Sensei benar-benar tak terlihat seperti guru. Ia terlihat seperti anak kuliahan yang tampan. Pipiku panas. Eh, maksudku, hanyasedikit tampan!
“Kamu ini benar-benar ceroboh ya,” ia tersenyum, “seperti anak kucing!”
Anak kucing? Ia mengejekku atau bagaimana? Aku tidak tahu harus menjawab apa.
“Saya punya banyak kucing,” Sensei menambahkan. “Bahkan Cherryblossom-ricecake sebentar lagi akan melahirkan.”
Aku mengerutkan alis, “Ricecake? Melahirkan?”
“Iya—oh… tidak…” raut wajah Wakaouji-sensei berubah seakan diterjang malapetaka. “Sensei benar-benar lupa!”
“Ah, Sensei, tunggu!” panggilku saat tiba-tiba ia berlari menjauh. Aku tentu saja tak bisa tinggal diam. Lihat bawaanku, penuh dengan aneka produk perawatan kucing miliknya! Secara spontan aku berlari mengejar Sensei yang semakin jauh dari mata.
Aku tiba di sebuah komplek apartemen. Lari ke mana dia? Mataku menangkap sosok Sensei yang berbelok ke balik salah satu apartemen. Aku mengikutinya masuk ke celah semak-semak di belakang apartemen itu. Dia mau apa di sini?
Lalu aku dikejutkan oleh suara meongan kucing.
Kuhampiri Sensei yang sedang berjongkok, di hadapannya terdapat seekor kucing yang sedang menyusui lima anak kucingnya—semuanya terlihat baru saja lahir. Aku ikut berjongkok di sebelahnya. Wakaouji-sensei menoleh ke arahku, lalu tersenyum manis. Ternyata yang bernama ‘Cherryblossom-ricecake’ itu adalah kucing ini, Sensei sungguh punya selera nama yang unik.
Aku tertegun saat menatap senyum tulusnya. Ah, aku telah melihat sisi lain dari Sensei yang selama ini begitu easy going. Kami berdua terperangkap dalam diam, menikmati suasana sore yang damai.
“…Kamu tidak akan memulai pembicaraan tentang kejadian kemarin, kan?” ujar Sensei pelan, memecah keheningan.
Eh? Kejadian kemarin? Kutatap wajah pencinta kucing itu, sebersit rona merah mewarnai pipinya. Tanpa sadar jemariku meraba bibir yang sejak tadi terkatup, teringat akan kejadian mengejutkan itu. Pipiku ikut merona.
“Bu-bukan berarti aku tidak suka atau semacamnya, tapi… umm, jangan dengarkan Sensei yang bergumam tidak jelas ini,” lanjutnya sambil mengibaskan tangan.
Sensei! Selalu saja berkata sesuatu yang membuat jantungku jungkir balik!
***
Aku mengibaskan daun yang jatuh mengenai bahuku. Kulihat matahari sudah hampir mengenai garis horizon, hanya terlihat satu-dua murid di sekitar lapangan sekolah ini. Hari yang melelahkan. Sungguh, akhir-akhir ini aku merasa sangat letih. Apa aku terlalu memaksakan diri? Mungkin saja. Belajar sampai larut malam, mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, dan tanggung jawab lainnya. Mau bagaimana lagi? Aku sangat antusias untuk mengejar ranking pertama.
Angin dingin tiba-tiba menerpa punggungku, aku menggigil, tanganku terasa kehilangan kekuatannya. Lelah, lelah sekali. Beberapa buku meluncur jatuh dari tanganku. Aku menggerutu pelan. Kupunguti buku-buku sial itu, perhatianku tertuju pada bungkusan makanan kucing yang terselip di sela-selanya. Oh, ya, aku hampir lupa yang satu ini.
Semenjak melihat Cherryblossom-ricecake melahirkan beberapa bulan lalu, aku merasa punya tanggung jawab pula terhadap anak-anak kucingnya. Setiap pulang sekolah aku selalu menyempatkan diri untuk memberi makan mereka. Tentu saja aku tak bisa meninggalkan tanggung jawab ini pada Sensei! Dia saja tidak tahu cara menggendong kucing yang benar. Betapa aku bisa kena serangan jantung saat Wakaouji-sensei hampir menjatuhkan anak kucing yang baru lahir itu!
Namun anak-anak kucing itu membuatku dekat dengan Sensei. Tak jarang kami pulang bersama untuk mengurus mereka (Sensei memeliharanya secara diam-diam—apartemen yang ia tinggali tidak memperbolehkan peliharaan). Fried-pork, Beef-curry, Tempura, Yakiniku, dan Tuna-roll. Ya, itu nama-nama mereka, kau pasti tahu siapa yang menamainya.
Hari ini aku pulang terlalu sore, tentu saja aku tidak akan sempat untuk menjenguk kucing-kucing itu. Lagipula, Sensei pasti sudah pulang.
Aku melanjutkan perjalanan pulangku. Tiba-tiba ada yang memanggil. Aku menoleh, Hikami. Pemuda berkacamata itu menawarkan untuk pulang bersama—menurutnya tidak aman bagiku untuk pulang sendiri selarut ini. Aku menerima tawarannya. Kenapa tidak? Lebih baik membonceng sepeda Hikami daripada jalan kaki, bukan?
“Apa kamu sudah mengerjakan tugas kimia yang untuk besok?” tanya Hikami saat kami hampir sampai di gerbang sekolah. Tugas? Tugas apa? Aku mencoba untuk mengingat-ingat. Seketika diriku tersadar. Pantas saja aku lupa, sepertinya aku meninggalkan kertas tugas itu di laci meja kelas. Panik menyelimutiku.
“Hikami-kun, aku meninggalkan kertasnya di laci mejaku!” ucapku seraya berlari kembali ke sekolah.
Aku berlari menyusuri koridor, pintu kelasku sudah di depan mata. Namun aku terdiam saat mendapati pintu kelas itu terbuka. Ada seseorang di dalam. Sensei, belum pulang ternyata. Ia sedang menulis apa di papan tulis? Oh… aku tertegun saat mendapati keadaan papan tulis yang penuh dengan rumus-rumus kimia. Aku tahu dia bisa mengerjakan berbagai soal kimia dengan mata tertutup, tapi mengapa di sini Sensei terlihat begitu putus asa?
Tiba-tiba Wakaouji-sensei mencoreti papan tulis itu dengan tanda silang yang besar. Aku belum pernah melihatnya seperti ini.
“Daisy-san!” sebuah sahutan dari arah koridor membuyarkan diriku.
Wakaouji-sensei mematahkan ujung kapur tulisnya.
Aku membalikkan badan. Orang yang menyahutiku, Hikami, berjalan cepat menujuku.
“Bagaimana? Apa kamu sudah menemukan kertas tugasnya?”
Aku mengerjapkan mata, kulihat wajah Sensei yang nampak panik. Aku pun menjawab terbata, “Be-belum…”
“Kalau begitu, sini biar aku turut mencari,” ujarnya. Ia menengok ke dalam kelas, “Oh, ada Wakaouji-sensei rupanya.”
Hikami-kun, kau datang sungguh di saat yang tidak tepat. Secara spontan aku berusaha mencegatnya, “Tidak, tidak usah. Sepertinya aku tidak jadi pulang bersamamu, Hikami-kun. Aku ada sedikit urusan dengan Wakaouji-sensei, kebetulan sekali Sensei masih di sekolah.”
Setelah meyakinkannya untuk tidak mengkhawatirkanku (ia benar-benar calon ketua OSIS idaman), akhirnya Hikami pulang duluan. Sekarang hanya tinggal aku dan Sensei. Kesunyian kikuk yang familiar ini menyelimuti kami berdua. Aku memandang Sensei, wajahnya dipenuhi ekspresi yang tak dapat kubaca.
“Seharusnya kamu pulang saja dengan Hikami-san,” seperti biasa, Sensei duluan lah yang memecahkan keheningan ini. Ia memalingkan muka, dengan pelan ia menambahkan, “Sensei tidak cemburu kok.”
“Hah?”
Raut wajah Wakaouji-sensei kembali panik, namun semburat merah juga turut mewarnainya. “Bukan, maksud Sensei… ah…” ia menghela napas. Ekspresi matanya seolah mengisyaratkan tanda menyerah.
Wakaouji-sensei bersikap tidak seperti biasanya, aku khawatir. “Sensei kenapa?” tanyaku.
Ia hanya menatapku lekat-lekat. Jantungku berdetak kencang ketika melihat senyuman khas terlukis di bibirnya. Sungguh, aku bingung dengan diriku akhir-akhir ini. Melihat senyuman Sensei saja, sudah cukup membuat jantungku berpacu. Setelah beberapa saat akhirnya ia membuka mulut.
“Tidak, Sensei tidak kenapa-napa. Sensei hanya bingung mengapa murid Sensei yang satu ini begitu memenuhi pikiran Sensei.”
“Siapa, Sensei?” tanyaku penasaran.
Bukannya menjawab, Wakaouji-sensei justru balik bertanya, “Apa kamu merasa bahagia selama bersama Sensei, Daisy-san?”
Aku merasa wajahku yang merona merah dapat menjawab pertanyaan itu. Namun dengan pelan aku mengangguk juga.
“Syukurlah, Sensei juga merasakan hal yang sama.”
Hening kembali menyapa kami. Nuansa oranye menerangi kelas ini seraya jendela-jendela menampakkan matahari yang terbenam.
“Daisy-san? Apa boleh Sensei memohon suatu hal?”
Aku mengangguk.
“…Selama ini yang membuat Sensei bahagia hanyalah mengajar dan memelihara kucing. Sensei merasa cukup, tidak pernah terbesit sedikit pun kebahagiaan yang melebihi itu. Tapi—” ia memalingkan muka ke arah jendela, menikmati pemandangan indah dari kelas di lantai dua ini.
“Semenjak Sensei bertemu denganmu, kehidupanku yang selama ini begitu hitam-putih kembali berwarna. Kamu datang dengan segala hal yang tak terduga. Mulai dari kejadian di lab itu… sampai kesediaanmu merawat anak-anak Cherryblossom-ricecake. Dari itu Sensei sadar, kamu memberiku kebahagiaan lain yang selama ini belum pernah Sensei rasakan.”
Wakaouji-sensei kembali menatapku, “Daisy-san, mungkin ini terdengar egois, namun Sensei tidak mau kebahagiaan itu berakhir. Sensei--aku tidak mau kehilanganmu. Jadi, kumohon, jangan pernah pergi dariku.”
“Sensei—“
“Shhh…” Sensei menaruh jarinya di bibirku, “jangan kamu jawab dulu. Aku ingin kamu mendengar permasalahannya. Perbedaan umur kita memang tidak sejauh guru-guru lain. Namun ingatlah, aku masih gurumu. Jadi mungkin aku tidak bisa memberimu kebahagiaan yang setara dengan anak-anak sepantaranmu.”
“Dengan mengetahui itu, apa kamu masih mau mengabulkan permohonanku?”
Apa permasalahan seperti itu akan membuatku menjauh dari Sensei? Kau sudah tahu jawabannya. Aku pun merasakan kebahagiaan yang sama seperti apa yang ia rasakan, dan aku juga tidak mau mengakhirinya.
Aku menjawab pertanyaan Sensei dengan mencium pipinya.
“Daisy-san!” tegurnya sambil memegangi pipinya yang merona. “Kita masih ada di lingkungan sekolah, hal seperti ini bisa membuatku kena masalah…”
Melihat Sensei yang mencibirkan mulutnya, aku tertawa kecil. Sepertinya julukan ‘anak kucing’ jauh lebih cocok untuk dirinya sendiri!
SELESAI